Mohon tunggu...
Ghani N.C
Ghani N.C Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya seorang anak manusia yang terus-menerus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Keblinger

14 April 2010   03:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:48 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

saat ini banyak sekali artis-artis yang maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dan tidak jarang pula artis-artis tersebut berhasil meraih posisi strategis di pemerintahan daerah, seperti Dede Yusuf di Jawa Barat dan Rano Karno di Tangerang.

Melihat sistem demokrasi sekarang dan juga konstitusi dari Republik Indonesia, memang hal tersebut menjadi hal yang sah-sah saja bagi setiap orang untuk mempergunakan haknya untuk memilih atau dpilih. artis-artsi tersebut memang adalah warga negara Indonesia, sehingga mereka pun secra otomatis boleh mempergunakan hak tersebut.

tapi sepertinya kita lupa akan beberapa hal yang harus kita telusuri dari demokrasi. demokrasi adalah sebuah sistem yang secara sederhana mengamanatkan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat. demokrasi dalam hal ini dijalankan oleh rakyat dengan direpresentasikan oleh adanya tiga lembaga pemegang jalannya pemerintahan, yaitu eksekutif, legislatif dan, yudikatif. ketiga lembaga tersebut menjalankan fungsinya masing-masing dan akhirnya terbentuk sebuah sistem check and balance dalam pemerintahan. dalam hal fungsi, penulis berasumsi bahwa tugas administrasi pengelolaan daerah atau negara dalam lingkup luasnya dipegang oleh lembaga eksekutif. eksekutiflah lembaga yang menjalankan roda administrasi dan mengeksekusi segala ketetapan yang dihasilkan melalui kosensus rakyat yang diwakilkan oleh legislatif.

diantara ketiga lembaga itu pula pemilihan secara langsung dilakukan untuk eksekutif dan legislatif. akan tetapi legislatif walaupun saat ini telah dapat meilhat figur yang dipilih, akan tetapi kekuasaan partai masih menjadi dominan, dimana partai masih dapat me-recall kadernya yang ada di dewan. sedangkan dalam hal eksekutif  figurlah yang menjadi sorotan utama, walaupun figur tersebut didukung oleh hanya satu partai ataupun banyak partai. figurlah yang memegang kendali kampanye dan potensi kemenangannya sendiri. jadi dalam hal ini lembaga eksekutif menurtu penulis adalah jabatan yang paling berat amanahnya , karena memang figurlah yang menjadi tahapannya.

melihat definisi demokrasi dan definisi eksekutif diatas, penulis berasumsi bahwa figur seorang pemimin daerah ataupun negara, haruslah figur yang dapat mengemban amanah itu dengan sangat baik, cerdas, sopan, mau bekerja keras untuk rakyat, rela "hidup" di tengah-tengah rakyat sebagai pembantu rakyat, karena dalam demokrasi rakyatlah rajanya dan mampu untuk membimbing rakyatnya keluar dari kesengsaraan yang dideritanya. penulis dalam hal ini bukan dalam rangka meragukan kredibilitas dari para artis tersebut, akan tetapi penulis hanya mau melihat apa sebenarnya motif dari para artis yang maju sebagai kepala daerah tersebut , dan mungkin juga calon-calon yang lain dari berbagai kalangan. apabila motfnya untuk membangun daerah, penulis merasa itu hanyalah motif yang datar karena terbukti ada calon kepala daerah, tetapi dia bukan putra/putri daerah, bagaimana dia tahu permasalahan daerah  yang fundamental apabila dia belum pernah atau tidak pernah sama sekali ke daerah tersebut atau bahkan hanya sekali-sekali saja ke daerah tersebut dan itu pun ternyata bukan untuk urusan sosial di daerah tersebut.

sekali lagi penulis bukan bermaksud meragukan calon-calon kepala daerah yang sekarang sudah muncul dari berbagai kalangan, penulis hanya mau melihat motf dan latar belakang saja  dari calon kepala daerah tersebut. bila melihat kecenderungan dari para calon tersebut, ada beberapa calon yang ternyata tidak bersih "catatan:" hidupya. penulis jadi menduga bahwa menjadi pimpinan daerah apakah sebuah ajang pembersihan nama baik. kalaupun alasannya seperti itu, hal itu bagi penulis terlihat seperti sesuatu yang sangat naif, karena bagi penulis seorang figur pimpinan haruslah figur yang bersih, kalaupun mau maju sebaga pemimpin daerah, apa tidak lebih baik berperan dahulu dalam kegiatan-kegiatan sosial sampai image buruk itu pun dapat terkikis dan akhirnya dapat maju menjadi pimpinan daerah.

satu lagi fenomena yang mungkin terlihat dari pemilihan kepala daerah adalah adanya praktek-praktek nepotisme yang secara "halus" dilakukan. hal tersebut seharusnya menjadi sebuah keprihatinan karena hal tersebut apabila dibiarkan akan dapat menutup keran demokrasi warga negara dan akan memuluskan dinasti politik di Indonesia yang akan berdampak pada keringnya proses perubahan, karena  mungkin saja dinasti tersebut hanya "memainkan" pola yang sama dalam manajemennya, sehingga apabla tidak ada calon lain, pengurusan urusan ketata derahan atau bahkan ke tatanegaraan akan begitu-begitu saja.

penulis tidak bermaksud menghalangi, tetapi penulis hanya ingin mengingatkan bahwa kesadaran berdemokrasi haruslah juga dibangun dengan pemahaman berdemokrasi dengan diadakannya pendidikan berdemokrasi, sehingga warga negara pun akan dapat mengerti kapan dan harus bagaimana hak-haknya tersebut dapat dipergunakan dan disalurkan. demokrasi yang dijalankan tanpa kesadaran, pemahaman, dan pendidikan berdemokrasi hanya akan melahirkan "Demokrasi Keblinger" yang hanya akan mereduksi esensi dari demokrasi itu sendiri dan malah akan membawa sistem menuju kondisi tidak adanya aturan (anarki), karena dengan bebasnya warga negara menafsirkan sendir-sendiri demokrasi tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun