Demokrasi Kampus; Kemandulan berpikir Birokrat kampus dan Mahasiswa
Corak pendidikan tinggi saat ini mulai ada pada masa yang serba terbuka, kompetitif dan sistematis, setidaknya tiga hal ini yang kemudian menjadi titik awal pengikisan terhadap budaya demokrasi yang ada di Kampus atau pun perguruan tinggi. Ketika kita bebicara tentang demokrasi kampus hal pertama yang perlu diperhatikan adalah mahasiswa, kenapa mahasiswa? Karena laksana rakyat, sebagai pemegang keadualatan tertinggi di dalam suatu negara (volkssousouvereiniteit) demikian juga mahasiswa sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Kampus. Oleh karena itu sangat keliru kalau berbicara tentang dmokrasi kampus namun abai terhadap kepentingan mahasiswa
Kampus harusnya Demokratis.
Kampus yang demokratis merupakan impian dari setiap mahasiswa dan itu harus terwujud melalui perudingan dan pendiskusian secara kolektif dan terbukan dengan seluruh elemen mahasiswa ataupun yang mewakili sehingga dalam upaya untuk mengambil suatu kebijakan tidak ada pihak atau mahasiswa yang menjadi korban hal ini akan memuat mahasiswa menjadi kritis dalam berpikir, kreatif dalam bertindak hingga menciptakan dan menjalarkan budaya demokratis dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kampus dan masyarakat. Namun akan jadi bencana jikalau budaya demokrasi kampus berubah menjadi gaya otoriter (authoritarian style). Mahasiswa yang diharapkan akan menjadi  pelopor perjuangan di lingkungan kampus dan masyarakat seperti tak bernyanyi dan bertaji ketika dihadapkan dengan gaya otoriter yang ditunjukkan oleh kampus, drop out adalah jalannya ketika  ada mahasiswa yang berani melawan dan memprotes kebijakan kampus.
 Dari awal januari-maret 2020 sudah ada 3 kasus  D.O yang diberikan oleh pihak kampus, dengan alasan mencemarkan nama baik kampus, menurut data yang diambil tirto.id. setidaknya sebanyak 32 mahasiswa yang di drop out/DO Sepihak oleh kampus dengan rincian sebagai berikut : Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate sebanyak empat (4) Mahasiswa, UKI Paulus Makasar sebanyak 28 Mahasiswa, dan yang terakhir informasi dari LK FKIP UKAW bahwa ada  satu orang Mahasiswa  UKAW  Kupang yang juga di drop out/ DO oleh pihak kampus dengan alasan yang sama juga, Mencemarkan nama baik kampus dan lembaga melalui postingan di akun sosial media miliknya dengan judul postingan "Sajak Menuntut Akreditasi".  Kasus DO ini jika dilihat merupakan akumulasi dari keresahan pihak kampus dalam menangangi mahasiswa yang bersangkutan. Sehingga jalan satu-satunya yang bisa diambil adalah dengan men drop out  mereka dan akan dijadikan sebagai contoh bahwa yang nantinya melawan dan memprotes kebijakan kampus maka akan bernasib sama seperti mereka yang di drop out.
Jalan Mahasiswa Sebagai Pelopor Demokrasi Kampus
Pola yang sama ini juga pernah saya ulas dalam artikel sebelumnya yang berjudul "Otoritas Kampus dan Tumpulnya budaya Kritis Mahasiswa". Bahwa memang benar kalau ancaman melalui otoritas kampus membuat budaya berpikir mahasiswa yang kritis menjadi menumpul hingga membuat mahasiswa dengan senang hati membeo dan tunduk pada sistem kampus yang membelit kehidupan mahasiswa. "Dengan demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa polarisasi yang terbentuk, merupakan dampak daripada pengaruh kontaminasi budaya tunduk dan sikap mahasiswa yang masih terlalu konservatif dalam memandang dan menerjemahkan Geopolitik Kampus. Mereka  Beranggapan bahwa dunia Kampus merupakan tempat investasi untuk mendapatkan perkerjaan dimasa depan atau cepat lulus sehingga cepat mendapat kerja, jangan pikirkan hal lain selain kuliah. Merupakan anggapan-anggapan yang tersusun rapi didalam otak mereka,sehingga membuat mereka lebih senang diam dan apatis terhadap persoalan selain persoalan yang berhubungan dengan Kuliah mereka".
Kampus dewasa ini menanamkan budaya tunduk kepada mahasiswa sehingga menjadikan mahasiswa semakin menikmati ketertindasan yang ada. Ini seperti yang dikatakan  Paulo Freire bahwa akan menghasilkan manusia yang mudah disetir, Kurang kreatif, paternalistik, dan anti dialog serta kurag kritis (Freire, 1991:52-55). Kampus harus secara jujur menjadi arena untuk pembebasan mahasiswa sehingga membuat mahasiswa menemukan jati diri mereka dengan mengembangkan kreativitas dan tidak menjadi generasi patuh yang tidak memiliki integritas. Pada intinya kampus adalah medium untuk membebaskan mahasiswa agar sampai pada tahapan kesadaran berpikir kritis dan bukan sebagai tempat untuk beternak dan memproduksi tenaga kerja murah yang siap pakai. Jadi setiap kreativitas dan kekritisan mahasiswa harus menajadi bahan acuan dan pembelajaran kembali kepada kampus untuk bersama-sama mencari solusi terbaik lewat proses yang dialogis.
"Demokratiskan budaya kampus adalah jalan satu-satunya" kira-kira ini merupakan sepenggal kata yang saya kutip dari aktivis senior yang saat ini menjadi penulis, bahwa memang benar kalau jalan satu-satunya untuk kemajuan kampus adalah dengan menghadirkan budaya demokratis. Namun ketidak mampuan birokrat lembaga pendidikan tinggi dalam berpikir dan merumuskan suatu masalah yang dialami mahasiswa, membuat mereka menjadi alat untuk menebarkan gaya pemimpian yang otoriter. Itulah sebabnya kampus hanya fokus pada pengajaran yang berhubungan dengan knowledge dan mengabaikan realitas sosial yang ada, semua yang berhubungan dengan literasi terhadap lingkungan sosial seakan dijauhkan dari pikiran mahasiswa sehingga seperti yang dikatakan oleh Freire bahwa kesadaran yang mereka miliki adalah kesadaran naif-transitif. (Freire, 1979:18). Dampak burukya adalah mahasiswa akan senantiasa tumbuh menjadi kelas penindas yang baru di lingkungan masyakarat, oleh karena itu dalam keadaan seperti apapun pembungkaman ruang gerak mahasiswa di lingkungan kampus merupakan suatu kejahtan kemanusia karena melanggar hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat di muka umum "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang" (Pasal 28 UUD 1945).
Sumber : Â Â
Lampiran Bahan diskusi LK FKIP UKAW (2020)