Mohon tunggu...
Adib Hilman
Adib Hilman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jiwa Muda Pencari Jati Diri | adibhillman.blogspot.com | @Bank_Box

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dua Mimpi Sederhana Bocah Kebon Dalem

12 Februari 2014   10:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua Mimpi Sederhana Bocah Kebon Dalem Judul Buku : Sepatu Dahlan Pengarang : Khrisna Pabichara Penerbit : Noura Books (PT Mizan Publika) Tahun terbit dan cetakan : Cetakan I, Mei 2012, Cetakan II, Mei 2012, Cetakan III, Juni 2012 Ukuran / dimensi buku : 14 x 21 cm Tebal buku : 392 Halaman Harga buku : ISBN : 978 – 602 – 9498 – 24 – 0 ***

Mungkin ini terlambat. Saya baru saja menuntaskan membaca buku “Sepatu Dahlan”. Tidak salah jika buku karya Khrisna Pabichara ini adalah buku best seller. Novel karangannya selalu bermutu dan sangat inspiratif. Dengar dari seorang kerabat dekat saya serta rasa keingintahuan tentang buku Trilogi Novel Inspirasi Dahlan Iskan ini membuat saya ingin membaca halaman per halaman sampai tuntas. Seperti testimoni A. Fuadi (Penulis Buku Negeri 5 Menara), “Ini jenis buku yang bikin candu! Saya tak mampu berhenti membalik halaman sampai tamat.” Hal itulah yang saat ini saya rasakan ketika membaca novel inspiratif karya Khrisna Pabichara ini. Jika kita mengenal sosok Khrisna Pabichara, dia adalah penyuka prosa dan telah melahirkan sebuah kumpulan cerita pendek, Mengawini Ibu : Senarai Kisah Yang Menggetarkan (Kayla Pustaka, 2010). Novel ini, Sepatu Dahlan, adalah buku ke-14 yang dianggitnya. Khrisna Pabichara lahir di Borongtammatea, Kabupaten Jeneponto, Makassar – Sulawesi Selatan pada tanggal 10 November 1975, Wauw, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Ayah dua orang putri, yang kerap disapa Daeng Marewa ini, bekerja sebagai penyunting lepas dan aktif dalam berbagai literasi. Dia bisa disapa dan diajak berbincang berbagai hal, terutama pernak-pernik #bahasaindonesia, lewat akun twitternya : @1bichara. *** Tujuan dan latar belakang penulisan novel ini tak lain dan tak bukan, sesuai dengan pengantar dari Dahlan Iskan dalam buku ini, “Harapan saya, semoga buku ini terselip inspirasi dan manfaat di novel Sepatu Dahlan ini untuk semua pembacanya.” ***

“Mata berkunang-kunang, keringat bercucuran, lutut gemetaran, telinga mendenging …. Siksaan akibat rasa lapar ini memang tak asing, tetapi masih saja berhasil mengusikku…. Sungguh, aku butuh tidur. Sejenakpun bolehlah. Supaya lapar ini terlupakan….”

Kehidupan mendidik Dahlan kecil dengan keras. Baginya, rasa perih karena lapar adalah sahabat baik yang enggan pergi. Begitu pula dengan lecet dikakinya, bukti perjuangan dalam meraih ilmu. Ya, dia harus berjalan berkilo-kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Tak hanya itu, sepulang belajar, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukannya demi sesuap tiwul. Mulai dari nguli nyeset, nguli nandur, sampai melatih tim voli anak-anak juragan tebu. Semua itu tak membuat Dahlan putus asa. Tak juga berarti keceriaan masa kanak-kanaknya hilang. Ketegasan sang Ayah serta kelembutan hati sang Ibu, membuatnya bertahan. Persahabatan yang murni menyemangatinya untuk terus berjuang. Dan apapun yang terjadi, Dahlan terus berusaha mengejar dua cita-cita besarnya : Sepatu dan Sepeda.

Sejak kelas 3 SR (Sekolah Rakyat), aku sering nguli nyeset. Itu kulakukan sepulang sekolah, disela-sela jadwal rutin menggembala domba. Upah nguli nyeset terus kutabung demi dua mimpi besarku – Sepatu dan Sepeda. (Halaman : 73)

Dahlan adalah bocah yang tegar dan mencoba untuk kuat dalam bertahan ditengah kehidupan yang menurutnya sangat memilukan dan menyakitkan. Meski begitu, Dahlan di didik dalam silsilah keluarga pesantren yang mampu memberikan ilmu iman dan perilaku baik, seperti salah satu judul bab dalam buku ini, Miskin Harta, Kaya Iman. Beberapa potongan wejangan kakak Dahlan, Mbak Sofwati juga membuktikan,

“Lapar ndak berarti harus maling, Dik.”

Ojo wedi mlarat, yang penting jujur.”

“Kita boleh miskin harta, Dik, tapi kita ndak boleh miskin iman.”

“Ingat, semiskin apapun kita, Bapak dan Ibu ndak rela kalau kita, meminta-minta belas kasihan tetangga, keluarga, atau siapa saja.”

Dahlan mempunyai dua mimpi besar yang sebenarnya itu adalah mimpi yang sederhana. Hanya sepatu dan sepeda. Namun Dahlan sangat menginginkannya, dengan alasan supaya kakinya tidak lecet karena berjalan berkilo-kilo untuk menuntut ilmu dan bermain voli di sekolahnya. Sedangkan untuk sepeda, alasannya supaya tidak berangkat terlalu pagi untuk ke sekolah, jauh lebih cepat, dan tidak capek. Dahlan suka sedih jika dia melihat teman-temannya memakai sepatu. Dia selalu teringat impian yang belum juga menjadi kenyataan, yaitu sepatu. Anehnya, beda sekali ketika dia melihat siapa pun yang sedang bersepeda, hatinya tidak berdesir, biasa-biasa saja. Bapak Dahlan merupakan sosok yang sangat dihargai oleh Dahlan, temannya, serta warga kampung Kebon Dalem, karena beliau terkenal sebagai orang pekerja keras, dia juga sering menjadi imam serta mengajar ngaji di langgar Kebon Dalem. Suatu waktu beliau bercerita ketika sedang mengajar anak-anak Kebon Dalem di langgar dan berpesan, “Kita harus berusaha sendiri, kita harus mencari, bukan berleha-leha menunggu belas kasihan orang lain. Tetap tawakkal dan bersyukur. Rezeki akan datang dengan cara yang bisa jadi tak pernah kalian duga. Jadi, bergembiralah. Tak perlu berkecil hati karena hidup kita yang miskin seperti sekarang.”

Kutipan kalimat yang paling saya suka dan mungkin tak akan bosan mengulang kalimat itu, adalah : “Aku ceritakan kesedihanku kepada sungai, agar sungai mengajariku bagaimana mengalir tanpa sedikitpun mengeluh.” (Halaman 339)

Akhirnya Dahlan berhasil membeli sepatu dan sepeda dengan hasil melatih voli anak-anak orang kaya Pabrik Gula. Dengan pekerjaan yang menurut Dahlan ringan, melatih voli bisa mendapatkan uah yang besar. Dahlan mampu membeli sepeda temannya, Arif dan mampu membeli dua pasang sepatu, satu untuknya dan satu lagi untuk adiknya, Zain. Hingga pada akhirnya Dahlan menyadari setelah dia menceritakan semua kesedihannya pada sungai yang mengalir, bahwa sepatu dan sepeda bukanlah cita-cita atau mimpi besar yang sebenarnya. Tetapi, Dahlan belum tahu apa cita-cita atau mimpi yang lebih besar dari sepatu dan sepeda. Disiplin keras dan didikan tegas Bapak Dahlan menjelaskan kepadanya, bahwa tidak ada sesuatu yang bisa dia pandang enteng dan dari sana bermula nikmat kebersahajaan sebagai anak yang dibesarkan oleh lengan-lengan kemiskinan. Rintihan dan erangan Zain, adik Dahlan, setiap menahan lapar menerangkan dengan jelas kepadanya bahwa rezeki bukanlah seperti hujan yang ditumpahkan Tuhan begitu saja. Tetapi Dahlan menyadari bahwa dia harus mencari sendiri rezeki itu, Harus.! Bagaimana kelanjutan cerita Dahlan yang memilukan itu, banyak cerita dan kejadian yang menarik untuk kita simak, sangat inspiratif dan bikin candu untuk membacanya.  Bagaiman Dahlan bertahan hidup dalam kemiskinan.? Bagaiman Dahlan membahagiakan keluarganya.? Bagaimana Dahlan dapat berprestasi dengan keadaannya yang serba kekurangan.? Apa Dahlan akhirnya bisa memiliki sepatu dan sepeda.? *** Kekurangan yang ada dalam buku ini adalah kesalahan dalam mencetak dan mengurutkan halaman. Ketika saya enak-enak membaca saya tidak sadar kalau saya membaca ulang halaman yang sudah saya baca sebelumnya. Saya mulai sadar karena saya beranggapan kenapa ceritanya jadi agak belibet ya, dan seperti sudah dibaca, ketika sadar dan sedikit membalik-balikkan halaman ternyata ada kesalahan dalam menata halaman, hal sepele ini cukup menggangu keasyikan dan keseriusan membaca. Setelah saya membaca halaman 102, selanjutnya yang semestinya halaman 103 ternyata malah diulang lagi halaman 101 dan baliknya 102, kemudian baru halaman 103. (dengan catatan : Saya meminjam buku teman,  yang menurut saya itu buku bekas dan sudah di cetak ulang). Terlepas dari kesalahan teknis dan sangat mendasar itu saya tidak bisa lagi menemukan apa yang kurang dari buku itu. Saya sangat menikmati rasa candu dalam diri saya untuk segera membuka halaman selanjutnya. Bahasa yang ringan dan logat bahasa jawanya yang kental membuat pembaca menjadi lebih muda mencerna dan enak dibaca. Ada selipan gambar sketsa yang meremajakan mata saat membaca. Sangat cantik. Banyak kisah tauladan yang inspiratif dan bermanfaat bagi si pembaca. Banyak pesan moral yang disampaikan dalam buku ini. Kita bisa banyak belajar nilai-nilai kehidupan dan mengajak pembaca untuk mampu benar-benar masuk dan berada dalam kisah itu. Pas kena di hati. Kesan ketika saya membaca di awal-awal bab buku ini adalah gila, buku ini benar-benar buku yang bikin candu. Saya bisa meresapi tulisan Khrisna Pabichara ini dan menggebu – gebu untuk segera membalik halaman selanjutnya. Setelah membaca Trilogi Novel Inspiratif Dahlan Iskan yang pertama dengan judul  Sepatu Dahlan ini, dijamin kalian bakal nggak sabar untuk segera membaca bagian dari Trilogi Novel Inspiratif ini yang selanjutnya atau yang kedua dan yang ketiga. Saya korban candu membaca buku ini dan akan segera membaca buku selanjutnya. Adib Hilman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun