Berbagai upaya dilakukan banyak masyarakat berkaitan dengan mengembalikan dan mengingatkan Pancasila sebagai simbol persatuan dan kesatuan. Saat hari lahir Pancasila lalu berlangsung sebuah acara memperingati hari lahir Pancasila yang diadakan di Obsat (Obrolan Langsat), sebuah tempat yang menjadi titik pengumpulan koin saat gerakan Koin Prita bergulir. Acara dihadiri banyak penggiat social media. Musisi dan seniman Dik Doank yang didaulat waktu itu memimpin bersenandung dan berdoa mampu membuat semua yang hadir merinding.
Berada dimana makna dari simbol negara tersebut ketika ragam masalah yang memuakan terasa membanjiri di berbagai laporan utama media kita?
Ragam korupsi dan penyimpangan seperti menu utama tiap hari. Menjadi sebuah santapan tak mengherankan yang hadir tiap saat. Kemana pemerintah negara ini? Persiapan pemilihan Presiden di tahun 2014 menjadi tuduhan paling tepat atas berbagai kisruh politik yang bermuara pada uang dan uang ini.
Ketika sebuah kasus mengemuka, ragam tanggapan dari masyarakat biasa sampai kalangan intlektual bertebaran di berbagai ruang. Facebook dan Twitter menjadi wahana paling seksi dan menawan untuk update beragam informasi dan beradu opini dari urusan politik dan uruan remeh lainnya.
Cacian, makian, umpatan dan kritik yang disajikan dengan halus dan kasar seperti menjadi kebiasaan. Meluncur deras tanpa filter. Semua hanya wacana dan wacana. Tidak ada solusi.
Rakyat lelah. Rakyat jenuh. Rakyat muak dengan ragam politik dan berbagai intriknya serta propaganda-propaganda pemanis dalam pidato saja. Namun rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Selain mencoba tertatih membuat upaya-upaya positif.
Hari Kamis (14/7) lalu di Lapangan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, berlangsung pagelaran musik dengan nasaf nasionalisme. Konser bernama Indonesia Satu. ”Idenya awalnya dari Ahmad Dhani, tapi pada pelaksanaanya diserahkan ke saya,” kata Albert Wijaya. Promotar kawakan dari Megapro Communications yang pernah membidani lahirnya Gong 2000 bersama Ian Antono, Achmad Albar, Donny Fatah, Harry Anggoman, dan Yaya Moektio.
Video rekaman mantan presiden RI, Abdurahman Wahid atau Gus Dur Dur berkumandang di acara Indonesia Satu ini. Beliau bertutur tentang indahnya perbedaan dan perlunya toleransi beragama di negeri Pancasila ini. “Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke dengan kekayaan alam serta keberagaman agama, etnis, suku, dan ras. Namun, keberagaman seringkali tidak dipandang sebagai faktor yang menyatukan bangsa. Satu-satunya ideologi yang dapat menyatukan semuanya adalah Pancasila. Melalui acara ini, masyarakat diharapkan dapat merasakan kembali falsafah Pancasila sebagai faktor yang dapat menyatukan semuanya, yang disampaikan melalui bahasa musik sebagai bahasa universal,” begitu mereka menulis latar belakang konser yang menghadirkan T.R.I.A.D., Mahadewa, Ari Lasso, Glenn Fredly, dan Dewa Budjana ini.
Sebuah ide dakwah musikal yang apik. Perlawanan halus kepada berbagai kisruh politik, agama, dan sosial yang tengah terjadi di Indonesia lewat media musik.
Saya jadi ingat awal Juli 2011 lalu diundang oleh Najwa Shihab bersama Rhoma Irama, Jerink (S.I.D) dan pengamat musik Denny Sakrie di acara Mata Najwa tentang posisi musik di kancah politik.
Sejak era Woody Guthrie musik sudah dipakai menjadi melodi perlawanan. Lewat tulisan This Machine Kills Fascist di gitarnya, musisi Woody Guthrie dari Amerika memakai musik sebagai perlawanan. Victor Jara musisi dan pejuang asal Chili merelakan nyawanya melayang akibat lagu-lagu protes yang dia ciptakan dan kumandangkan. Atau di Indonesia Koes Bersaudara yang merilis album protes pertama di Indonesia bertajuk To The So Called the Guilties setelah dijebloskan dalam penjara akibat musik ’Ngak Ngik Ngok’ yang mereka bawakan. Tak terhitung lagi musisi lain seperti Efek Rumah Kaca, Slank dan Iwan Fals yang menyuarakan problema yang ada di masyarakat.