M. Adib Abdushomad, GJA http://adib-gja.com Langkah untuk mencipatakan birokrasi yang efisien dan cekatan telah ditempuh oleh pemerintah salah satunya dengan adanya pogram reumenarasi di beberapa kementerian. Gaji PNS dan pegawai yang bekerja BUMN pun pada era sekarang ini tidak dapat lagi dipandang sebelah mata. Tidaklah mengherankan kalau banyak anak muda bercita-cita ingin menjadi PNS. Guru dan dosen yang merupakan profesi yang dulu kurang diminati, sekarang ini dengan adanya program sertifikasi ia menjadi idola dan mimpi sebagian alumni perguruan tinggi.Sebagai dampak dari keinginan kuat masyarakat untuk menjadi PNS ini akhirnya pemerintah “kewalahan” dan menetapkan perlunya moratorium pengadaan PNS. Penghentian penerimaan PNS ini menimbulkan tanda tanya besar sekaligus jawaban, bahwa pemerintah telah gagal untuk membina para abdi Negara ini untuk bekerja secara maksimal. Padahal, untuk memaksimalkan kerja para pegawai inipun pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk program reumenerasi di beberapa Kementerian. Hasilnya, tetap saja kebocoran anggaran, korupsi masih merajalela. Bahkan dewasa ini kita dikejutkan dengan adanya rekening gendut PNS muda milyaran rupiah, sebuah angka fantastis, namun ironis. Ironis karena umumrnya masih muda dan juga sudah di-upgrade gajinya sesuai dengan program re-umenerasi. Padahal masih puluhan kementerian yang lain pada antri untuk mendapatkan “approval” program reumenerasi serupa karena adanya factor kecemburuan disamping tentu saja alasan klasik untuk peningkatan pelayanan dan efisiensi birokrasi. Bisa dibayangkan berapa banyak uang rakyat yang akan digelontorkan untuk program ini. Bisakah kita optimis dan percaya dengan birokrasi kita, jika reumenerasi dijalankan, maka akan ada perbaikan signifikan? Kalau kita survey kecil-kecilan bertanya kepada masyarakat di jalanan, saya cukup yakin mereka masih kecewa dengan pelayanan terbaik (excellence services) dan performance PNS kita ini. Tentu saya masih menunggu evaluasi dari kementrian yang sudah menjalankan programa ini serta riset akademik terkait dengan ini. Secara teoritis saya ingin menawarkan konsep learning organisasi yang ide besarnya mungkin ada yang sama dengan reumenerasi, untuk memperbaiki citra PNS. Namun yang berbeda adalah progam learning organisasi ini tidak perlu harus dengan dana yang besar, cukup dengan pelatihan untuk merubah mindset para PNS, bahwa uang yang digunakan adalah titipan rakyat untuk kembali memakmurkan rakyat. Pada tulisan ini saya mencoba explorasi sedikit mengkaitkan konsep learning organisasi dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Konsep Learning organisasi Konsep learning organisation, oleh penggagasnya Peter Senge dimaksudkan sebagai prinsip dimana orang-orang di dalam organisasi mengembangkan potensi dirinya untuk meraih apa yang dicita-citakan, dimana gagasan baru selalu diapresiasi dan dijaga, dimana aspirasi juga diberikan tempat yang proporsional dan orang di dalam organisasi secara terus-menerus belajar bagaimana bekerja secara bersama-bersama. (Senge, 1991). Dewasa ini konsep learning organisasi (LO) telah menjadi paradigma baru (the new paradigm) yang dipakai oleh beberapa corporate dan juga department untuk menciptakan kemampuan innovative organisasinya agar lebih cepat dalam mencapai tujuan dan antisipatif terhadap perubahan. Ada beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan sebagai petunjuk untuk menggerakan sebuah organisasi menuju learning organisation, yakni dengan menerapkan five disciplines yang terdiri dari personal mastery, system thinking, shared vision, mental models, dan team learning. Kesigapan para pegawai di Australia dalam memeberikan pelayanan misalnya, merupakan cerminan dari personal mastery, dimana setiap orang memberikan kemampuan terhebatnya, dengan keramahan dan keluwesan. Personal mastery merupakan rangkaian disiplin dimana setiap individu selalu berupaya mengklarifikasi, memfokuskan energy, mengembangkan kesabaran, melihat realitas secara objektif dan selalu sadar bahwa realitas terkadang juga bersifat subyektif. Karena collective learning akan terjadi dimulai dari individual learning, maka personal mastery merupakan inspiration for excellence setiap individu dalam organisasi, bukan karena promosi jabatan, ia merupakan internal motivation untuk selalu menjadi yang terbaik. Barangkali di antara prinsip learning organisasi yang agak menjadi masalah di berbagai perkantoran adalah mental models. Yakni persepsi diri terhadap dunia, dan coba melihat sejauhmanakah itu semua memberikan efek terhadap diri kita. Ini berarti terjadinya kesadaran bahwa set of belief dari seseorang dalam organisasi akan mempengaruhi yang lainnya (considering that our behavior may effect others). Oleh karena itu, organisasi yang bagus akan selalu ditantang untuk selalu menciptkan healthy and constructive mental model dalam organisasi. Dalam realitas perkantoran kita (birokarasi) di Indonesia, terkadang fitnah dan isu-isu yang tidak bertanggung jawab “berseliweran” dimana-mana. Bukankah acara gossip di televisi, justru merupakan tontonan yang amat menarik di negeri kita ini. Bawahan menggosipkan atasan, begitupula atasan menghadapi mindset negatif terhadap orang-orang se-levelnya. Bisa dibayangkan, kalau dalam organisasi, dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki cara pandang negatif seperti ini. Dapatlah dipastikan bahwa organisasi dengan kemampuan human resource yang mental model-nya bermasalah, maka akan bergerak “seadanya”, bahkan dapat mengakibatkan kehancuran di kemudian hari. Islam dan konsep learning organisasi Kalau kita renungi, sesungguhnya konsep learning organisasi ini banyak ‘kemiripan’ salah satu inspirasinya adalah ajaran agama (Islam). Mental models, sangatlah sepadan dengan khusnudzhon (berbaik sangka). Ajaran agama Islam mengajarkan kita untuk positif thinking kepada orang lain, bahkan jelas dikatakan dalam al-qur’an, bahwa berburuk sangka adalah dosa dan merupakan perbuatan tercela (inna ba’dza dzanni ismun). Prof. Qodri Azizy, M.A dalam salah satu karyanya, menyebutkan bahwa bangsa lain bisa maju karena mereka mempraktekkan ajaran kita (agama Islam), sedangkan kita justeru cenderung untuk meninggalkan ajaran agama. Problem gap antara ajaran dengan praktek umatnya, memang harus segera diatasi dengan selalu melakukan introspeksi diri dan perbaikan. Umat Islam dengan potensi mayoritasnya di Indonesia, sesugguhnya merupakan asset yang dapat memberikan uswatun hasanah kepada orang lain dengan secara serius mengintegrasikan ajaran-ajaran agamanya secara inklusif dan kontekstual. Seringkali kita mendengar beberapa orang yang sempat studi di luar negeri selalu memberikan pujian kepada Negara tersebut (khususnya Negara maju) dengan mengatakan ‘raitul islama bi duunil muslimin’. Saya melihat ajaran Islam di negeri yang bukanlah mayoritasnya adalah muslim. Sudah saatnya statement ini dibalik dan menjadi milik kita (Indonesia) dengan mengatakan; “ saya milihat Indonesia merupakan miniatur yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah maju dan berperadaban yang patut dicontoh”. Sehingga setiap orang yang datang akan kagum dan terposana. Dengan pluralitas agama yang ada di Indonesia, saya yakin bahwa setiap agama memiliki nilai-nilai universal serta kemampuan untuk mentransformasikan nilai-nilai ajaran agamanya sebagai nilai plus (an added value) ke dalam tatanan perubahan organisasi serta mindset orang-orangnya ke arah yang lebih baik. Dengan demikian menuju learning organisasi dengan positive collective change, insyallah akan dapat terwujud di dunia birokrasi kita dengan menyerap nilai-nilai baik dari agama masing-masing serta tekat kuat untuk melaksanakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H