H. M. Adib Abdushomad, GJA http://adib-gja.com Kita saksikan bahwa kemaksiatan, kemungkaran, korupsi semakin terus terpampang di depan mata kita. Dengan melihat fenomena ini tentunya berbagai jenis perbuatan jahat tersebut tidaklah layak muncul dari orang-orang yang katanya telah mendirikan shalat. Karena, shalat sebagaimana terekam dalam firman Allah swt surat Al-Ankabut 45, dikatakan akan mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar. “Inna shalata tanha anil fakhsyai wal munkar”. Bahwa sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Untuk itu, tulisan singkat ini berargumen bahwa sepertinya ada yang salah dalam pemahaman dan pelaksanaan sebagian ibadah shalat umat ini (include kita sebagai muhassabah), sehingga akhirnya shalat tidak lagi memunculkan efek positif-reformatif sebagaimana dimaksudkan di dalam al-Qur’an. Mengapa? Berikut ini ada beberapa renungan penulis. semoga bermanfaat, allahumma, ammin. Shalat merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Shalat itu sendiri sesungguhnya mengandung nilai yang luar biasa yang nyaris sebagian kita sudah sangat mafhum posisi sentral shalat tersebut. Shalat adalah tiang agama, shalat adalah cek-list pertama yang akan dipertanyakan ketika yaumul hisab (hari perhitungan) nanti. Namun demikian, nasib kurang baik justru terjadi pada shalat ini. Shalat telah menjadi collective unconsciousnessbagi umat Moslem, yakni antara lain sesuatu yang divisualisasikan tidak enak dalam mengerjakannya, atau jika tidak mengerjakkan akan masuk neraka. Pemahaman ini tentu benar, namun kurang komprehensif dalam memotret shalat itu sendiri. Seandainya tidak ada neraka dan shalat tidak diwajibkan barangkali sebagian orang tidak akan pernah shalat wajib tersebut. Padahal dikatakan, asshalatu khairu mina naum, shalat adalah lebih baik dari pada tidur. Padahal tidur sebagaimana diketahui sangatlah enak untuk istirahat, namun shalat dinyatakan jauh lebih enak dari tidur ini. Mengapa shalat menjadi tidak menarik, tidak enak dan berat? Dalam otak kita ada istilahnya Neuro Linguistic Program(NLP) yang telah mempersepsi shalat menjadi sesuatu yang tidak enak dan juga salah kaprah dalam memahami shalat. Pertama, dalam kehidupan sebagian umat Islam, pengajaran shalat kepada putra-putrinya telah dilakukan dengan pendekatan yang tidak mengenakkan, misalnya mau mengerjakan shalat karena takut disiram air sama orang tua, atau takut dibentak oleh orang tua, dan ditakuti neraka. Pesan repetitif ini diterima oleh otak kita yang dalam jangka panjang telah menjadi memori bawah sadar. Sebagai akbibatnya ketika mendengar kata mari kita shalat.. “bayangan langsung meluncur ; disiram, dibentak, dan tentu ancaman siksa api neraka”. Tidaklah mengherankan kalau shalat dalam fase seperti ini adalah sekedar “menggugurkan” kewajiban saja. Shalat model seperti ini disindir dalam sebuah hadith “ Kam min qaaimun kahdhuhu min shaltihi atta’ab wan annashob”. Banyak orang yang melaksanakan shalat hanya mendapatkan lelah dan kepayahan. Dalam hadith yang lain “ Ya’ti ala an nash yushalluuna wala yushollun”. Akan datang pada manusia suatu saat nanti mereka shalat, tetapi seperti tidak shalat. Mendapa ini terjadi? Karena shalatnya hanya sekedar absent atau biar tidak masuk neraka tadi. Meskipun demikian karena Allah Rahman dan Rakhim, kita mesti optimis terhadap syurgaNYA allah. Karena masuk syurga tidak semata-mata aspek shalat, tapi kasih sayang Allah swt. Kedua, salah kaprah dalam memahami shalat. Sebagian umat Islam “terjebak” dalam memperdebatkan furu’iyyah kaifiyah shalat, tata cara shalat dalam aspek fiqhnya yang tentu saja sangat menyediakan ladang perbedaan yang cukup banyak. Tinjau saja dalam fiqh madzhahibul arba’ah, maka Anda akan disuguhkan praktek shalat yang beragam. Multitafsir terhadap kaifiyyah atau tata cara shalat itu sendiri hendakya tidaklah menjadi problem meruncing sehingga berpotensi merasa paling benar (truth claim) dan menyalahkan tata cara orang lain bershalat. Keragaman ini harus diletakkan dalam kerangka Fiqh yang memang memberikan “ruang perbedaan” dalam bershalat. Sebagaimana disebut dalam hadith, Rasuluallah bersabda Shollu kama raitumuniy, usholli, shalatlah kamu sebagaimana kamu liat saya sedang shalat. Barangkali masing-masing sahabat memiliki kisah yang berbeda dalam melihat Rasul shalat, misalnya pada saat Rasul shalat pernah pula sedang menggendong anak, dan lain sebagainnya. Kalau pakai fiqh Imama Syafii, tentu shalat yang banyak gerakan macam ini bisa gugur shalatnya. Hanya saja dengan “kearifan” dalam mensikapi tata cara shalatlah menjadikan kita bisa menempatkan diri. Biarlah ada yang shalat tidak pakai bismillah dalam baca surat al-fatehah yang mungkin dibuat jahr atau sirr, atau cara meletakkan tangan sehabis takbiratul ikhram yang bisa beragam. Ada yang di dada, sebelah perut. Bahkan saya lihat sendiri ketika berada di Mekkah, karena barangkali sudah mahir ada sebagian jama’ah haji mereka melepas tangannya, seperti sedang tidak shalat. Bahkan ada pula yang memindahkan anaknya lalu melanjutkan shalat lagi. Sekali lagi, biarkanlah kaifiyyah atau tatacara shalat ini ada dan berjalan secara natural. Dimensi Shalat Khusyu’ Untuk itu supaya shalat kita memiliki efek reformatif, mari kita bicarakan dimensi shalat khusyu’ nya saja. Menuju pribadi yang bisa melaksanakan shalat khusyu’ tidak sekedar persoalan keilumuan. Bagi yang sudah professor atau sudah ngaji dan paham tentang bab shalat khusyu pun tidaklah menjamin akan mampu melaksanakan shalat yang khusyu’. Karena shalat khusyuk adalah persoalan nyambung dan tidaknya kepada Allah swt. Menemukan shalat khusyu’ ibarat orang memancing ikan. Yang dicari orang hobi mancing ikan, tidak semata-mata mendapatkan ikan, namun kejadian saat kailnya ditarik oleh ikan, yakni det..det..det itulah nikmat yang luar biasa. Inilah mengapa orang bisa berjam-jam hanya ingin mendapatkan ikan, padahal dikantongnya ada uang puluah ribu yang bisa beli ikan sejenis dalam waktu sekejap dalam jumlah yang tentu lebih banyak. Inilah mengapa bagi Imam al-Ghazali yang terkenal dengan kitab ikhya’ ulumu addin-nya memasukan khusyu’, dalam salah satu syarat sahnya shalat. Betapa bahayanya orang yang tidak bisa mencapai derajat kehusyukan ini, sehingga menurut Imam al-Ghazali berpendapat batal shalat seseorang, jika tidak khusyu’. Sangat mungkin yang perlu dipahami dari sini adalah, kalau tidak bisa shalat secara khusyu’ maka dimensi tanha anil fakhsya’ wal munkar-nyajuga tidak bisa tercapai. Karena tidak tercapai, berarti banyak kemaksiyatan, kalau banyak kemaksiyatan berarti bahaya dan membahayakan bagi orang lain. Ini saya kira point yang ingin disampaikan oleh Imam al-Ghazali. Guna mencegah bahaya makro inilah, mungkin Imam al-Gahzali sangat ketat dalam klasifikasi standard shalatnya. Jika kita memakai framework Imam al-Ghazali, barangkali dipastikan kita akan kesulitan mencari siapa saja yang telah berhasil shalat khusyuknya, di tengah-tengah banyaknya fenomena kemaksiyatan di masyarakat ini. Dalam surat al Baqarah ayat 2 disebutkan “ wastainu bi shabri was shalah, wa innaha lakabiratun ila alal khosyiin. Aladzina yadzunnuna annahum mulaquu rabbihim, wailaihim rajiiun”. Ayat ini tidak boleh dipahami sepotong-potong, sebagaimana kebiasaan sebagian Islam yang suka memahami ayat secara parsial dan apalagi tidak paham ilmu alatnya. Aladziina adalah isim maushul yang berfungsi menjelaskan khasyiuuun, ada kata yadzunun yang berarti fiil mudhari’ yakni akan atau sedang. Ini berarti proses liqo’ (bertemu) kepada Allah sedang dilakukan dan sadar bahwa dirinya (aku, nafs atau ruh) akan kembali padaNYA. Awas; Shalat Hafal di luar Kepala Shalat khusyuk harus mampu mencapai derajat memanggil Aku yang berarti nafs, jiwa atau ruh yang akan kembali kepada Allah swt, bukanlah gerakan jasmaniyyah badan kita semata (meskipun dalam penjelasan terpisah, efek shalat yang benar mampu mengirimkan oksigen dan darah yang lancar ke otak sehingga mengurangi resiko berbagai penyakit). Kacaunya shalat kita selama ini hanya pendekatan memenuhi standard fiqh, jasmaniyyah dan pendekatan otak yang dalam batas-batas tertentu memiliki kekurangan. Kelemahan otak adalah dia tidak suka sesuatu yang diulang-ulang (repetitive). Jika merespon sesuatu yang sama, maka dia akan cepat bosan. Inilah mengapa dengan pendekatan otak, shalat kita sudah dihafal dalam otak kita, disimpan dalam sebuah file, ketika dipanggil, maka dengan lancar akan dibaca ayat ini, ayat itu dan seterusnya sampai hapal di luar kepala. Karena di luar kepala, akhirnya shalatnya gagal mengingat Allah swt. Apa yang terjadi dengan shalat seperti ini, maka saat shalat yang masuk muncul justeru keruwetan di kantor, persoalan dengan teman, bahkan barang yang hilang bisa ketemu ketika shalat. Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) mengibaratkan RAM (Random Acces Memory) dalam sebuah computer dengan shalat. RAM dalam otak kita itu kadang penuh dengan urusan dunia, apa yang terjadi jika shalat mengandalkan pendekatan otak? Karena otak sudah penuh dengan urusan dunia, maka sering urusan dunia juga masuk dalam shalatnya (Gama Media, Ghufron Ajib, 2000) Untuk itu, perlu sekirannya menanamkan perilaku shalat karena Allah diulang-ulang secara terus-menerus untuk mengganti long term memory kita atau RAM kita yang sudah penuh dengan urusan duniawi dan juga persepsi shalat yang tidak mengenakkan. Cara ini bisa ditempuh dengan memanggil ruh kita ketika mau shalat. Jiwa yang akan kembali kepadaNYA. Inilah yang perlu kita tarik dalam-dalam ketika takbir, rasakan dia yang ikut shalat, bukanlah badan kita. Wafii anfusikum afala tubsyirrun. Jika shalat kita masih dalam pendekatan otak semata, maka kenikmatan akan berkurang sesuai dengan naluri dan kelemahan otak yang tidak suka sesuatu yang diulang-ulang atau stabil, yakni itu-itu saja yang dibaca surat al-fatekhah, habis ini ruku’ pasti sujud dan seterusnya. Dengan cara memanggil Allah dalam setiap shalat dan dengan cara melibatkan ruh yang akan kembali kepadaNYA, maka justru akan ditambahi terus kenikmatan shalat kita. Shalat seperti inilah yang dirindukan orang, bertahan lama karena enak, tidak jenuh, asyik dan menggapai bahagia sebagaimana panggilan adzan, gapailah kebahagiaan, hayya alal falah. Bahkan rileks, sebagaimana ketika Rasul mengingatkan Sahabat Bilal, Arikhna bis As shalat, tenang atau refreshingkanlah dirimu dengan shalat. Adalah bukan suatu kebetulan bahwa konsep Tuhan kita atau Allah swt tidak memakai media, seperti patung, atau gambar Yesus Isa dalam agama yang lain. Dengan cara seperti ini memungkinkan jiwa kita untuk tidak terikat, berhenti dan terpenjara. Jiwa ini jadi merdeka, un limited spaces and times. Jadi, shalat itu ya enak, melebihi apa saja, plus ditambahi terus kenikmatan tersebut sesuai dengan janji Allah swt. Huwal ladzi anzalas sakiinata fi qulubil mukminin, liyadadu iimana ma’a iimanihim. Akhir kalam, Bila kita cermati, sebenarnya shalat sebagaimana ibadah ritual lainnya, adalah anugerah besar dari Allah swt. Bayangkan betapa sulitnya, terutama orang awam, jika mau ketemu sang pejabat. Semakin tinggi kedudukan pejabat itu, akan semakin sulit pula untuk menemuainya. Kalaupun ada open house, itupun setahun sekali, bahkan harus antri berjejal-jejal, terkadang memakan korban pula. Sekarang lihatlah, Allah swt Yang Maha Tinggi, Mahakuasa, dengan murah memperkenankan kita menghadap setidaknya lima kali sehari. Bahkan, 24 jam Ia membuka pintuNya untuk berkomunikasi. Allahu Akbar! Namun, demikian, cara kita shalat pun harus integrative dan khusuyu’ agar menimbulkan dampak refromatif sebagaimana disebtukan dalam al-Qur’an surat al-Ankabut. Semoga tulisan ini bermanfaat, memberikan stimulasi dan cara pandang baru dalam memaknai shalat kita, Amiin. (More info, klik; http://adib-gja.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H