M. Adib Abdushomad, GJA http://adib-gja.com Dewasa ini dalam sebuah era yang ditandai dengan kemajuan tehnologi yang sangat pesat, sekaligus lingkungan yang cepat berubah, organisasi tidak bisa menutup diri terhadap perubahan-perubahan yang ada. Peter F. Drucker (1998) mengungkapkan bahwa di abad yang sering disebut milinium ini, organisasi harus bergeser paradigmanya dari manual worker ke arah knowledge worker. Manual worker merupakan jenis para pekerja yang cara bekerjanya tergantung dimana dia bekerja. Maksudnya adalah mereka hanya bisa bekerja jika alat-alat dan perangkat kerja tersedia dalam organisasi. Sehingga skill dan knowledge-nya bersifat lokal- partikular dan hanya berungsi ketika bersinggungan dengan operasionalisasi atau rutinitas pada organisasi tersebut. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa knowledge dan skill-nya yang dimilikinya bersifat dependent, tergantung pada objek dimana dia bekerja. Atau dengan kata lain ilmu yang dimilikinya tidaklah portable, bisa dibawa kemana-mana (Abdushomad, 2010). Problem di atas, sedikit banyak menggambarkan bagaimana kualitas para pekerja atau karyawan di Indonesia, terutama di sektor publik yakni para pegawai pemerintahan (PNS). Sebagian dari jenis para pegawai ini memiliki knowledge dan skill yang sifatnya non-portable, dan oleh karenanya hanya memiliki ‘signifikansi’ dimana mereka bekerja. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau sebagian besar bertahan bekerja sampai puluhan tahun bahkan sampai seumur hidup, tidak saja karena barangkali terikat peraturan kerja sebagai pegawai negeri (PNS), namun juga kenyataan bahwa knowledge dan skill yang dimilikinya to some extent kurang bisa ‘dijual’ atau mampu menghidupi dirinya ketika berada di luar departemen. Kira-kira sudah siapkah para abdi negara ini mengemban tugas reformasi birokrasi dengan model knowledge dan skill yang masih minim tersebut? Saya kira pemerintah sudah on the right track yakni langkah reformasi birokrasi dengan memperbaiki tata kerja, serta menekankan reward and punishment dengan catatan bahwa program ini harus secara simultan dengan pengawasan yang ketat. Jangan sampai pemerintah menghambur-hamburkan uang hanya menggaji orang yang baca koran atau main game di kantor. Demikian pula, standard gaji yang adil antara yang inovatif berkerja dengan mereka yang datang tanpa tahu apa yang mau dikerjakan di kantor. Ala kuli khall, diatas segala-segalanya– ini merupakan salah satu pendekatan saja, yakni mengarahkan sebagian PNS ke arah knowledge worker sesuai dengan ilmunya serta mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang memang butuh manual worker. Namun di antara keduanya ada konsep yang lebih penting lagi yaitu “knowledge sharing” yakni kemuan untuk berbagi ilmu, infromasi atau apa saja terkait dengan pekerjaan di kantor. Sticky Information; Males berbagi Ilmu dan skill Salah satu penyakit di kantor adalah kecenderungan untuk menyimpan ilmu yang diketahuinya kepada yang lain. Cara ini ditempuh karena mereka beranggapan jika dia memberikan ilmu yang digelutinya di kantor sesama koleganya, maka sama saja membagikan rezeki secara “cuma-cuma” kepada yang lain, meskipun ilmu tersebut merupakan pekerjaan kantor. Keadaan ini sering disebut sebagai sticky information. Tidaklah mengherankan banyak sekali pekerjaan kantor banyak tertunda ketika yang bersangkutan, misalnya tidak masuk karena sakit atau dinas ke luar daerah. Informasi data, dikunci rapat-rapat hanya dia yang tahu sehingga bos atau atasannya akan hanya berurusan dia semata wayang. Dengan cara seperti diatas, meskipun kelihatan orangnya pintar dan cekatan, jenis pekerja seperti ini sama saja penghancur kantor dari dalam. Jika semakin lama di diamkan, maka akan ada “ketergantungan” yang sengaja diciptakan oleh yang bersangkutan supaya dia akan dilibatkan dalam setiap SK kegiatan, karena memang ilmu yang dipahaminya, masih sifatnya personal knowledge belum turun kepada procedural knowledge dimana ia menjadi “open accesses” bagi siapa saja yang ingin tahu. Peran pemimpin untuk menguraikan jenis-jenis skill yang dipunyai bahawannya sangatlah penting, jika tidak, maka ia dan organisasinya akan “disandera” oleh satu orang yang merasa pintar tadi. Seorang pemimpin harus mampu menciptkan lingkungan yang memungkinkan tumbuhnya budaya sharing knowledge. Karena jika tidak, ketika misalnya orang tersebut pindah ke tempat yang lain atau sebab-sebab yang lain, maka organisasi akan mengalami yang disebut Krandoft (1998) sebagai organisasi yang tidak memiliki memori (knowledge amnesia). Hal ini terjadi karena banyak sekali ilmu, data, dan informasi dalam organisasi masih tersimpan di otak masing-masing individu, belum kepada procedural knowledge yang dapat diakses oleh siapa saja. Untuk menyelesaikan penyakit itu, maka diperlukan pemetaan, yang disebut knowledge retention structure. Menurut Paddy O’Toole, yang disertasinya membahas tentang topik ini, mengatakan bahwa kita mesti tahu bagaimana cara organisasi menyimpan data dan informasinya. Ketika banyak data, informasi, dan ilmu perkantoran masih tersimpan di otak masing-masing individu di kantor ini pertanda bahaya, jika yang bersangkutan pergi meninggalkan kantor tersebut. Sebagaimana diketahui jenis knowledge, bisa berupa semantic knowledge, episodic knowledge dan procedural knowledge. Yang seringkali orang lupa adalah ada ilmu yang berdasarkan pengalaman yang dibangun secara terus-menerus, sehingga menjadikan yang bersangkutan ahli dan memiliki justifikasi tertentu, bahkan sampai-sampai tidak perlu diingatnya lagi karena sudah built in. Untuk memudahkan ilustrasi ini maka saya umpamakan ilmu mengendarai mobil, ilmu yang pertama kali diturunkan adalah sifatnya tehnis, bagaimana fungsi rem, clucth, dan bagaimana cara mengoper dari gigi satu dan lain sebagainya. Ketika basic knowledge ini turunkan ke lapangan dan singkatnya sudah mampu mengendarai mobil, apakah Anda masih perlu mengingat lagi ini bagaimana cara masuk gigi satu, dua dan harus diturunkan berapa jika pada posisi naik. Semua ini terjadi karena pengalaman yang akhirnya mengarah kepada skill dan justifikasi. Kemampuan ini sering disebut oleh Tuekuchi dan Nonaka sebagai tacit knowledge, dimana untuk mengarahkan kesana dibutuhkan banyak pengalaman bertahun-tahun. Bayangkan jika organisasi birokrasi di negara kita ini dipenuhi dengan orang-orang yang pelit dan tidak mau sharing pengetahuan, bagaimana dampaknya? Belum lagi kalau knowledge yang sifatnya tacit ini, masih tersimpan di kepala masing-masing individu belum di -translate kepada yunior yang lain. Alangkah indahnya berbagi, tidak perlu menunggu program professional development, atau harus membuat community of practice (CoP), sebagaimana saran Wenger. Tinggal sadari dan tunjukkan menjadi pribadi yang gemar berderma ilmu, jika Anda tidak mendapatkan pahalanya di dunia ini, yakinlah di Akherat Anda akan mendapatkan balasannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H