Dulu, begitu banyak umat Islam simpati pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sangat terasa program partai ini disusun cendekiawan Islam untuk kesejahteraan bangsa. Begitu juga mereka yang diberi kepercayaan duduk di lembaga legislatif berusaha maksimal memperjuangkan prinsip 'amar makruf nahi munkar'.
Mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah, mereka yang mengabdi dalam PPP adalah mereka yang konsekuen, ketokohannya teruji. Mereka bukanlah insan sembarangan yang bisa 'dipelintir' pemikirannya dan dibelokkan keteguhan prinsipnya.
PPP yang lahir dan tampil berani pada era orde baru di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, bersungguh- sungguh memperjuangkan aspirasi ummat, meski tantangannya juga luar biasa . Tokoh PPP yang tampil ke gelanggang ketika itu ibarat 'ayam aduan', berani, bertaji, berwibawa, cerdas, dan selalu siap menghadapi serta mengatasi tantangan yang muncul.
Di era Pak Harto, PPP tetap diperhatikan meski Golongan Karya lebih diutamakan. 'Senyum' Pak Harto yang terkembang tentang pembinaan kepartaian selama Orde Baru sangat 'dimengerti' pemimpin negeri ini di manapun mengabdi. 'Senyum' Pak Harto sangat dimaklumi pada era kepemimpinannya. Yang ikut pemilu sejak 1977 sampai 1997 tetap hanya tiga kontestan. PPP, Folongan Karya (Golkar), dan PDI.
Lucunya, meski tiga kontestan ini sebenarnya partai politik, namun 'Golongan Karya' tetap saja tidak mau menyebut dirinya partai politik. Tetap bertahan dengan Golongan Karya sampai berakhirnya pemerintahan Pak Harto dan bertransformasi menjadi 'Partai Golkar'.
Lain halnya dengan PPP. Dimulai dari Pemilu 1977 sampai kini konsekuen dengan namanya. 'Indak barubah-ubah'.
Meski demikian, PPP kini tidak lagi sama dengan yang dulu. PPP sekarang tidak segemuruh dulu lagi. Yang muncul akhir-akhir ini adalah beda pendapat yang merembet saling jegal-menjegal. Umat pun seakan tidak mau tahu lagi dengan keadaan partai ini. Bisa-bisa partai ini kelak 'membunuh' dirinya sendiri.
Meski di era Pak Harto, PPP hidupnya baik dengan geraknya yang agak diawasi, tapi semangat kadernya luar biasa. Sebab, mereka rata-rata cendekiawan Islam pilihan, mulai dari pusat sampai ke daerah.
Kini, sesama kader PPP saling berselisih. Dinamika politik negeri ini ternyata 'dibuang sayang' oleh PPP. Situasi yang terbilang positif keadaan demokrasinya, namun entah apa yang terjadi dengan PPP. Terbelah, dari pusat sampai ke bawah. JIka kondisi ini terus berlanjut, tidak mustahil partai ini hanya menunggu kekerdilannya saja lagi.
Sebenarnya, PPP tidak kekurangan tokoh kharismatik. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan di mana saja umat Islam ada, di sana pasti ada tokoh PPP. Tapi kini mereka tiarap. Entah sampai kapan mereka begitu. Tidak bisa dipastikan.
Di saat cendekiawan PPP banyak yang tiarap, mungkin ada yang 'senang' dengan keadaan PPP saat ini. Sangat disayangkan, PPP yang sebenarnya aset umat namun pengurusnya seakan tidak tahu dan tidak mau tahu dengan kondisi PPP yang di ambang kehancuran.