Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tigo Lurah, Berhentilah Menangis

10 Oktober 2018   21:14 Diperbarui: 10 Oktober 2018   21:14 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi jalan yang sangat memprihatinkan menuju Kecamatan Tigo Lurah, di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. (FOTO: DOK WANDY/KORAN PADANG)

SUDAH lama diketahui, Kecamatan Tigo Lurah adalah daerah paling tertinggal di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Untuk tingkat Sumbar mungkin juga demikian. Tertinggal, terbelakang, terisolir alias 3T. Tentu Wartawan KORAN PADANG yang bertugas di Kabupaten Solok, Wandy, terbilang sangat getol memperjuangkan aspirasi warga Tigo Lurah meskipun dia bukan caleg.

Kegetolan Wandy mengangkat problema terkini Tigo Lurah tentu perlu didukung meski upaya untuk mengubah kawasan itu tidak seperti membalik telapak tangan. Namun, kegigihan Wandy sangat  pantas diacungi jempol. Sebab, Wandy mungkin satu-satunya 'kuli tinta' di daerah ini yang selalu berjibaku menampilkan kondisi apa adanya yang terjadi di daerah lingkungan kerjanya.

Di saat negeri ini sudah begitu berubah, termasuk kalangan wartawan yang begitu 'mesra' dengan sumber pemberitaan, nyatanya beragam problema kemasyarakatan masih begitu mendera anak negeri ini dan tidak semuanya terungkap ke publik. Tigo Lurah, kecamatan yang butuh belaian maksimal untuk mencapai kesejahteraan saat ini masih meratapi dirinya. Entah kapan airmata Tigo Lurah ini kering. Sulit diterka.

Dengan situasi tersebut, mau tak mau pemerintah kecamatan setempat harus berusaha mandiri menerobos berbagai problema yang dirasakan masyarakat setempat. Termasuk masalah paling menonjol yaitu kondisi jalan berlumpur yang sangat memprihatinkan. Tentu masih banyak lagi problema lainnya.

Kondisi jalan berlumpur tapi memiliki sawah yang subur, rimba yang rimbun dengan rerumputan menghijau membutuhkan pemikiran segar untuk menjadikannya modal dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dalam arti yang sebenarnya.

Untuk sejenak, berhentilah dulu mengeluh. Mari diapungkan mana yang bisa diubah untuk keluar dari ketertinggalan tersebut.

Tigo Lurah adalah kawasan yang subur. Rumput menghijau. Apakah hamparan rumput ibarat permadani hijau terbentang luas itu sudah dimanfaatkan maksimal? Sudah berkembangkah ternak sapi, kerbau, dan kambing? 

Belum terbaca di KORAN PADANG bahwa binatang buas -- seperti harimau -- banyak terdapat di Tigo Lurah ini. Kalau binatang buas tak kentara, kenapa warga enggan memelihara ternak? Padahal, beternak sapi, kambing, kerbau dengan sistem tradisional jelas menguntungkan.

Masih banyak daerah atau nagari di pedalaman dengan komunikasi tidak lancar namun masayarakatnya terus berjibaku. Seperti Nagari Maek, luar biasa terisolirnya dulu. Termasuk Baruhgunung di Limapuluh Kota. Tapi warganya brupaya erus bangkit. Tersebut dulunya sapi Maek kerdil. Namun, sekarang Maek sudah hebat. Sapinya ternama. Berasnya melimpah. Jalannya sudah mulus beraspal. Tiap hari ada bus Padang - Maek pulang pergi. Ada lagi Gelugur di Kecamatan Kapur lX, masih di Kabupaten Limapuluh Kota yang warganya sudah bangkit. Percayalah, kalau Tigo Lurah benar-benar punya program unggulan untuk kesejahteraan, insyaallah dikabulkan Yang Maha Kuasa.

Kita pun maklum, dana desa ada. Beragam dana pembangunan dengan jumlah banyak disediakan pemerintah pusat. Ada ula dana pokir dari anggota dewan. Banyak lagi sumber pendanaan lainnya. Khusus di Tigo Lurah, apakah dana yang terbilang banyak itu sudah dimanfaatkan untuk menjawab keluhan masyarakat setempat? Wartawan juga punya tanggungjawab mengekpose secara berkala pemanfaatan dana untuk negeri yang belum berhenti menangis ini.

Tak kalah pentingnya adalah partisipasi masyarakat. Kalau berharap pemerintah turun tnagan entah sampai kapan ditunggu. Untuk itu, mampukah masyarakat bergotongroyong setidaknya empat jam seminggu untuk membenahi jalan yang memprihatinkan tersebut? Di sinilah walinagari perlu tampil ke depan memperlihatkan 'leadership'-nya untuk membangkitkan semangat gotong-royong warga yang merupakan kearifan lokal negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun