Bisa saja diteliti, kalau masyarakat suatu nagari tetap memelihara tradisi keterbukaaan dengan demokrasi warung kopinya, percayalah, nagari tersebut pasti maju. Rakyatnya cerdas. Fasilitas kampungnya membanggakan. Masjidnya bagus, TPA-nya hidup, jalan desa bersih, padinya menjadi, jagungnya maupieh. Pokoknya, beragam fasilitas yang ada di desa atau nagari tersebut terbilang membanggakan.
Apalagi, walinagarinya dipilih langsung oleh rakyat. Pasti rakyat memilih tokoh terbaik. Begitu juga, badan musyawarah (bamus) juga merupakan tokoh pilihan. Jika Bamus melaksanakan fungsinya secara maksimal, akrab, dan mampu saling membina pengertian sesama semua aparat nagari niscaya pembangunan di nagari tersebut akan lancar-lancar saja.
Hanya saja, jika sudah berkaitan dengan uang, ada di antara kita yang "terbelalak" matanya melihat tumpukannya yang menggiurkan. Di sinilah celaka itu tibanya. Khusus dana desa atau nagari, yang aparatnya tergiur, boleh jadi namun bisa saja diduga, muncul pada nagari yang masih terbelakang. Warganya yang "cerdik" belum seberapa. Dan walinagari tampil sebagai pemimpin tunggal tanpa ada yang mengontrol. Bamus pun antara ada dengan tiada.
Walinagari yang tidak begitu dihiraukan kerjanya oleh cerdik pandai dalam nagari, termasuk ninik mamak, alim ulama, pemuda, bundo kanduang, maka pasti jabatannya tidak bertahan lama. Bisa jadi cepat berurusan dengan pihak berwajib.
Di balik banyaknya dana desa sekarang, baiknya kontrol dan evaluasi dari Bamus jelas sangat diharapkan. Kalau Bamun bersama tokoh masyarakat sudah maksimal mendampingi walinagari dan perangkatnya, tentu semuanya akan berjalan lancar-lancar saja. Begitu juga peran camat, jelas sangat menentukan dalam memberikan pengarahan berkaitan dengan suksesnya pembangunan di tingkat nagari atau pedesaan.
Jika aparat provinsi atau kabupaten sampai pusing pula memikirkan beragam kasus di desa atau nagari menandakan bahwa mekanisme berpemerintahan yang baik gagal terwujud di daerah ini.
Oleh karena itu, sangat diharapkan siapapun aparatnya yang melakukan penyelewengan keuangan jangan diberi ampun. Mulai dari aparat teratas sampai terbawah, walinagari dan kepala desa, sikat dan benamkan masuk bui. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H