Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkaca pada Pola Petani Tradisional dalam Mereguk Kesuksesan

7 Juli 2017   14:39 Diperbarui: 7 Juli 2017   17:11 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petani yang hanya mengandalkan satu komoditi lebih sering merugi dibandingkan petani yang produktif menanam aneka komodoti jika harga komoditi satu-satunya yang ditanam itu anjlok dan disambut harga pasar yang murah.

Misalnya saja cabai. Kini harga pasar hanya sekitar Rp12 ribu saja per Kg. Dipastikan petani cabai rugi karena biaya olahan, pupuk, ongkos pemeliharaan dan lainnya cukup tinggi.

Secara nasional harga cabai dan sayuran, seperti bawang termasuk kebutuhan pokok lainnya boleh dikatakan stabil dan tidak lagi mengecewakan konsumen. 

Bisa jadi, hal ini salah satu kesuksesan kerja Satgas Pangan yang dibentuk pemerintahan Presiden Joko Widodo saat Ramadan lalu. Ditambah gebrakan Menteri Pertanian Amran Sulaiman bersama Menteri Perdagangan benar-benar bekerja keras mengendalikan harga pasar berkaitan dengan kebutuhan rakyat banyak.

Bagi petani yang cerdas dan berpengalaman, mereka tidak akan gentar dengan murahnya komoditi yang ditekuni. Sebab, petani yang 'panjang akalnya' selalu berusaha mencari celah-celah keuntungan. Salah satu caranya melaksanakan program 'tumpang sari'.

Selain bertanam cabai, juga tidak lupa menanam sayuran dan buah. Ada lagi tanaman perkebunan dan pohon lainnya. Mereka juga memelihara ternak dan berkolam ikan. Bahkan, areal pertanian yang berlokasi di pinggiran perbukitan juga ditanami pohon surian, jati, maupun mangga. Sehingga, tidak ada lagi lahan yang tersisa.

Cara yang dilakukan oleh petani berpengalaman, meski sifatnya masih tradisional, banyak terdapat di banyak kampung dan desa di Sumatera Barat. Jika diteliti ke pedalaman, akan banyak ditemui petani tradisional yang sukses, mengantarkan anaknya mengecap pendidikan tinggi dan berpenghidupan yang layak, mengabdi pada berbagai profesi dan usaha yang menggiurkan.

Petani tradisional yang sukses tersebut adalah mereka yang tangguh dan pekerja keras. Hebatnya lagi, mereka adalah insan yang ditempa dengan pendidikan pesantren. Mereka yang sukses itu rata-rata taat beribadah dan merupakan pemuka masyarakat di kampungnya. Sangat banyak petani tradisionil yang sejahtera kehidupannya. Mereka naik haji, rumah tangganya tenteram, anak dan cucunya patuh kepadanya.

Petani sukses itu punya keilmuan program 'tumpang sari'. Meski program tumpang sari memang sudah digalakkan pemerintah, namun petani sukses di Sumbar sudah sejak lama menerapkan pola itu sebelum digencarkan pemerintah.

Namun, petani yang tidak mengerti dengan tumpang sari dipastikan tetap 'menjerit' dengan anloknya hasil tanaman yang mereka kerjakan.

Pernah penulis melaksanakan pengabdian sosial di Nagari Lawang Mandahiling Tanahdatar. Di sana, beragam sayuran dibiarkan begitu saja tanpa dipanen. Buncis mengering, japan membusuk, lobak jangan disebut lagi. Tua, layu, dan rontok di batang. Hal itu karena harga jualnya sedang anjlok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun