GURU Besar Universitas Andalas (Unand) Prof. DR. Helmi, beberapa kali dalam ucapannya menyebut banyak kolam ikan produktif di Ampanggadang, VII Kototalago, Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, yang sudah lama terlantar. Pernyataan Guru Besar Unand yang didengar banyak orang berpengaruh dalam acara 'Kewirausahaan Sosial' di Hotel Inna Muara, Padang, Sabtu lalu (13/5) itu memang kenyataan dan tidak terbantahkan.
Profesor Helmi, putra Ampanggadang itu, sangat memaklumi problema kampungnya. Dalam acara tersebut penulis juga hadir sebagai peserta sekaligus tim kerja dalam kegiatan itu. Terus terang, saya juga 'sakampuang' dan punya ikatan kekeluargaan dengan Prof. Helmi. Sehingga lemparan 'bola kata-katanya' beberapa kali mengangkat problema tersebut sambil menyebut 'kampuang kami jo Pak Adi'.
Dalam acara yang digelar Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) Provinsi Sumbar pimpinan Hj. Nevi Irwan Prayitno itu, Prof. Helmi diberi kepercayaan untuk membahas topik 'Kewirausahaan Sosial dan Penguatan Gerakan Penyejahteraan Sosial'.
Pemaparan yang disampaikan Prof. Helmi itu sangat menarik dan jangkauannya mencakup kesejahteraan masyarakat Sumatra Barat, terutama dalam menurunkan angka kemiskinan. Namun, tepat juga rasanya problemanya diperkecil dengan skop kampung saja: Ampanggadang.
Jorong yang berpenduduk sekitar 3 ribu warga itu punya kolam ikan cukup banyak. Tapi, sangat disayangkan banyak yang terlantar. Prof. Helmi pun melemparkan gagasan agar kolam terlantar itu difungsikan untuk diolah jadi areal tambak permanen sesuai petunjuk ahli dari perikanan.
Program menggarap kolam ikan itu dijadikan wirausaha sosial untuk mengangkat kesejahteraan penyandang sosial yang ada di kampung ini. Bisa jadi, untuk kesejahteraan anak yatim, warga dhuafa, honor guru TPA, kesejahteraan garin, warga lanjut usia, dan lainnya.
Agar gerakan sosial ini terlaksana, tentu saja perlu dibentuk tim kerja yang disponsori pemerintahan jorong bersama pemuka masyarakat. Tim kerja cukup beberapa orang saja dan tidak perlu banyak. Untuk tahap awal, dilakukan pendataan terhadap kolam-kolam yang terlantar termasuk pemilik kolam tersebut. Kalau pemilik bersedia menyerahkan kolamnya pada tim kerja, tentu perlu ada kesepakatan tertulis.Â
Yang sangat penting dalam hal ini adalah tenaga kerja penggarap. Untuk itu, perlu juga disepakati sistem 'bagi hasil' dengan sistem syariah. Hal ini sudah ada pedomannya dalam ajaran Islam. Syukur, kalau pemilik kolam menghibahkan pemakaian kolam untuk kesejahteraan sosial di kampung itu. Tentu dia menerima pahala sebagai bekal untuk masuk surga.
Sebaliknya, jika pemilik ingin untuk bagi hasil, juga tak mengapa. Bisa saja menggunakan sistem 50:25:25. Maksudnya, 50 persen hasil bersih untuk pekerja dan pemelihara, 25 persen untuk pemilik kolam, dan 25 peren lagi diserahkan untuk pembiayaan kesejahteraan sosial, seperti anak yatim atau lainnya.
Sedangkan dana awal, seperti penyediaan bibit ikan, pembersihan kolam, dan pakan ikan, bisa bersumber dari donasi dermawan, perantau, penyumbang lewat kotak amal, dan sumber-sumber lainnya.
Pada tahap awal, bisa saja dilakukan ujicoba dengan 10 kolam ikan. Yang penting adalah kemauan. Bahkan, support dari pemerintah juga perlu ada, seperti bibit ikan dari Dinas Perikanan.