Hasil kerajinan warga disabilitas - termasuk anak panti asuhan di Sumatra Barat - sepertinya kurang diperhatikan. Kalau dinilai dengan uang dan dihitung dengan jelimet, sungguh luar biasa nilainya. Bisa saja mencapai ratusan juta rupiah.
Ribuan anak panti asuhan, murid disabilitas, hingga remaja putus sekolah dilatih dengan beragam keterampilan agar mereka bisa mandiri. Mulai dari pelatihan membuat beragam souvenir sampai kebutuhan sehari-hari masyarakat, rata-rata mampu dikerjakan anak panti, disabilitas, dan remaja putus sekolah itu, baik yang dibina pihak swasta atau lembaga pemerintahan.
Hasil karya mereka kemudian ‘dibanggakan’ melalui berbagai pameran. Selain anak asuh, para pembina, pelatih, dan pengelola lembaga juga tersanjung dengan hasil karya yang dipamerkan itu.
Namun, kegembiraan itu hanya muncul sesaat, yakni saat pameran saja. Selesai pameran,anak kembali ke sekolahnya, ke rumahnya, ke pantinya, ke bengkelnya, sambil belajar dan berbuat lagi beragam kerajinan. Begitulah tradisi yang mereka jalani secara terjadwal.
Hanya saja yang belum jadi perhatian sampai sekarang oleh pembinanya, terutama jajaran Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan Nasional serta turunannya sampai ke bawah adalah pemasaran produk dan karya anak-anak tersebut.
Sebaiknya, jajaran Kementerian Sosial sampai ke dinas terkait pelaksana program jangan hanya sekedar melatih anak binaan sampai menghasilkan karya saja, tapi lebih dari itu, seyogyanya juga berupaya memasarkan produksi yang telah selesai dibuat.
Suatu pelatihan diadakan agar mereka yang mengikutinya sukses dan bisa mandiri. Disinilah problemanya. Ternyata, meski produk yang dihasilkan sudah baik namun pemasarannya acak-acakan. Hanya dipajang ketika pameran saja dan setelah pameran selesai, tidak ada lagi kelanjutannya.
Jajaran Kementerian Sosial jelas punya banyak program pembinaan, di antaranya Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Tenaga Kerja Sosial Kecamatan (TKSK), dan lain sebagainya. Rata-rata, pelaksana program cenderung hanya mengharapkan bantuan rutin melalui proposal yang diajukan ke tingkat kementerian aaupun pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten. Alangkah baiknya lembaga sosial binaan Kementerian itu punya inisiatif memasarkan semua hasil karya anak binaan ini.
Sudah sangat pantas rasanya usaha ekonomi produktif (UEP) khusus memasarkan hasil kerja anak binaan Kementerian Sosial dimunculkan. Yang penting adalah keseriusan bersama. Pemikiran yang menyebutkan bahwa hasil karya anak binaan bukanlah untuk dipasarkan adalah keliru dan tidak zamannya lagi. Yang penting adalah pertanggungjawaban dan terobosan, sebagaimana yang diharapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H