Sejak penetapan oleh Perhutani tersebut, Desa Sendi dihilangkan dari wilayah administratif Kabupaten Mojokerto. Warga Desa Sendi pun mempertanyakan mengapa dasar yang digunakan Perhutani adalah dasar hukum Belanda yang sarat dengan unsur-unsur penjajahan. Namun, pertanyaan mereka tidak mendapatkan respon dari Negara. Sejak saat itu pula, ditambah situasi negara masa Orde Baru yang sangat represif, warga Desa Sendi bermukim di dusun tempat pengungsian mereka sampai masa reformasi 1998.
Masa Reclaiming
Masa reformasi 1998 adalah suatu masa dimana warga Desa Sendi kembali melakukan pendudukan (reclaiming) atas tanah Desa Sendi. Saat itu memang reclaiming terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa Timur yang memiliki pengalaman sejarah yang sama dengan Desa Sendi. Reclaiming tersebut terjadi bukan karena warga yang lapar tanah, namun karena warga ingin merebut kembali hak-hak mereka yang dirampas.
Warga yang melakukan reclaiming tergabung dalam satu organisasi rakyat bernama Forum Perjuangan Rakyat (FPR). Awalnya, FPR adalah kelompok tani Dusun Ngeprih yang aktif dalam membuat pupuk dan pestisida organik. Bentuk gerakan ini kemudian berkembang menjadi gerakan tani yang ditujukan untuk merebut kembali hak-hak petani atas tanah di Desa Sendi yang diklaim oleh Perhutani. Anggota FPR memang adalah para ahli waris warga Desa Sendi.
Perjuangan yang dilakukan FPR bukannya tanpa bukti. FPR memiliki bukti sejarah berupa makam leluhur warga Sendi yang masih terawat, meskipun setelah dijadikan medan pertempuran. Mereka juga memiliki saksi hidup yang bisa menceritakan secara jelas kronologis sejarah Desa Sendi. Bukti lain yang dimiliki oleh FPR adalah surat-surat pajak tanah dan peta desa yang dibuat oleh Belanda.
Lahan yang saat ini diduduki oleh FPR seluas kurang lebih 200 Ha. Komposisi tata guna lahan yang berhasil diduduki adalah 10% digunakan untuk pemukiman, 40% difungsikan untuk hutan desa, sedangkan 50% sisanya untuk perkebunan yang dikelola dengan konsep agroforestry. Hutan desa tersebut dimaksudkan sebagai hutan resapan atau konservasi dengan kemiringan lahan sekitar 40 derajat.Â
Yang patut dicatat adalah salah satu komitmen yang mereka bangun dalam melestarikan hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Salah satunya adalah konsep agroforestry-nya untuk lahan pertanian, serta green village untuk lahan pemukiman. Kedua konsep ini menurut FPR adalah untuk mengembalikan hutan sebagaimana mestinya.
Berdaulat Tanpa Merusak
Visi ekologis FPR yang menitikberatkan pada pelestarian lingkungan ini membuka pemahaman bersama bahwa tidak hanya Perhutani saja yang mampu menjaga fungsi ekologis suatu wilayah. Rakyat pun bisa memainkan peran dan fungsi ekologis di suatu wilayah, tentunya dengan demokratisasi dan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam hal ini, kedaulatan rakyat atas sumber-sumber agraria menjadi kunci terwujudnya keadilan sosial.
Sebelumya, lahan Desa Sendi yang merupakan kawasan hutan produksi pinus yang dikelola oleh KPH Pasuruan tersebut sudah gundul karena ditebang oleh Perhutani. Kemudian FPR menanami kawasan tersebut dengan tumbuhan buah-buahan. tumbuhan yang ditanam oleh FPR bukanlah tumbuhan yang manfaatnya berupa kayu, akan tetapi buah-buahan. Dengan begitu, pohon yang ditanam tidak akan ditebang dalam waktu yang sangat lama karena yang diambil manfaatnya bukan berupa kayu, akan tetapi buahnya.
Perhutani kerap menggunakan alasan wilayah hutan di Jawa sudah berada di bawah angka 30%. Alasan ekologis yang cukup kuat bagi Perhutani untuk tidak melepaskan wilayah kuasanya. Namun, ketika melihat fakta sosial saat ini di Desa Sendi, alasan tersebut tentu menjadi lemah. Faktanya, rakyat lebih mampu menjaga fungsi ekologis suatu kawasan tanpa harus merusak ekosistem di kawasan tersebut.