Beberapa waktu yang lalu telah terjadi sebuah insiden kontroversial  penendangan sesajen di Gunung Semeru yang kemudian  menjadi sorotan publik. Peristiwa ini tidak hanya memicu perdebatan di ranah hukum positif, namun juga mengundang perhatian terhadap relevansi hukum adat dalam konteks masyarakat pluralis seperti Indonesia. Tindakan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan mendasar mengenai toleransi  dan memicu perdebatan mengenai  penghormatan terhadap kearifan lokal dan hukum adat yang berlaku di kawasan tersebut.
Gunung Semeru, sebuah simbol spiritual dan alamiah yang indah di Jawa Timur, baru-baru ini menjadi pusat perhatian karena insiden tragis yang melibatkan penendangan sesajen. Insiden ini membawa kita untuk mempertimbangkan dua perspektif penting yaitu pidana adat dan aspek hukum adat. Sesajen adalah objek ritual yang biasanya dibuat untuk menghargai dewa atau roh-roh alami. Yang mana di beberapa komunitas di Jawa Timur, termasuk di sekitar Gunung Semeru, sesajen sering kali dibuat sebagai bagian dari upacara adat yang kompleks. Kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29 membuat negara Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat keagamaan dan praktik adat istiadat berdasarkan hukum adat.
Kronologi Kejadian
Video yang viral di media sosial menunjukkan seorang pria berinisial HF dengan sengaja menendang sesajen yang ditempatkan di jalur Lokasi erupsi Gunung Semeru, kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Didalam Video tersebut tampak terlihat bahwasanya HF melakukan aksinya dengan melempar dan menendang sesajen yang berada di Lokasi dengan mengatakan "Ini yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka allah,hingga Allah menurunkan azabnya. Allahu Akbar," ujar Pria tersebut didalam video nya yang tersebar. Tindakan ini dianggap sebagai intolenransi terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat yang telah berlangsung secara turun-temurun.
Aspek Hukum Adat
Dalam konteks hukum adat, tindakan menendang sesajen dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma adat yang berlaku. Masyarakat adat di sekitar Gunung Semeru memiliki sistem kepercayaan yang kuat terkait dengan kesakralan gunung dan ritual-ritual yang dilakukan di sana. Dalam kasus penendangan sesajen tersebut HF dikenakan Pasal 156 dan 158 KUHP mengenai dengan ujaran kebencian terhadap suatu golongan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Aspek hukum adat dalam kasus ini yaitu sebuah penghormatan terhadap tempat suci yang mana gunung semeru  sudah dianggap sebagai tempat suci oleh Masyarakat disekitar gunung semeru (Masyarakat tengger), sesajen di sekitar gunung semeru memiliki makna spiritual yang mendalam dalam tradisi tengger yang mana hukum adat disitu melarang bagi siapapun untuk merusak sesajen yang telah ditempatkan jika terjadi perusakan sesajen maka tindakan itu dianggap melanggar norma adat. Masyarakat tengger percaya bahwasannya ritual sesajen tersebut ada hubungan era tantara manusia, alam dan dunia spiritual mereka.
Pidana AdatÂ
Menurut perspektif hukum adat tindakan tersebut melanggar norma-norma budaya yang telah ada di masyarakat, khususnya di kalangan Suku Tengger yang memiliki tradisi kuat terkait sesajen. Budayawan Henry Nurcahyo mengatakan bahwasannya sesajen adalah bagian integral dari ritual budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam pandangan ini, tindakan HF tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum positif tetapi juga sebagai penghinaan terhadap simbol budaya yang dihormati oleh Masyarakat.
Majelis Hakim membacakan putusannya menjatuhkan Hukuman pidana 10 bulan penjara dengan denda 10 juta subsider 2 bulan kurungan. Sementara itu dari pihak JPU (Jaksa Penuntut Umum) memvonis 7 bulan penjara dengan denda 50 juta. Perbedaan putusan tersebut dikarena majelis hakim memiliki pertimbangan khusus untuk menjatuhkan putusan hukuman yang berbeda dengan JPU. Â Melalui pernyataan Mapolda Jatim HF menyerukan perminta maaf annya kepada seluruh Masyarakat Indonesia apabila yang dilakukan didalam video tersebut telah menyinggung perasaan Masyarakat Indonesia, Ia memohon maaf sedalam-dalamnya.
Dampak Sosial Terhadap MasyarakatÂ
Dari kasus tersebut memicu amarah dari Masyarakat terutama umat hindu dan komunitas disekitarnya. Masyarakat banyak menganggap Tindakan tersebut sebagai pelecehan terhadap nilai budaya dan keagamaan. Dari kasus ini dapat menimbulkan disharmonisasi antar kelompok Masyarakat, dan kasus ini harus ditangani dengan bijak dikarenakan intoleransi antar budaya. Bagi wisatawan yang berkunjung ke suatu tempat yang memiliki nilai budaya yang sangat kental wajib berhati-hati karena banyak sekali tempat sakral sehingga harus saling menghormati dan pengelola wisata wajib memberikan edukasi kepada pengunjung untuk tetap menghormati dan melestarikan budaya yang ada pada tempat tersebut dikarenakan tradisi-tadisi adat disana sudah berasal dari turun- temurun. Pemerintah lokal dan nasional mulai mempertimbangkan kebijakan yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal. Pemerintah lokal dan nasional memiliki inisiatif untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap situs-situs sakral dan praktik budaya tradisional.