Beberapa hari lalu, saya dikirimi kawan video pendek tentang  penjual cilok keliling.  Biasa,  sekedar untuk hiburan segar.  Kali ini menurut saya, kirimannya cukup menarik, jenaka dan penuh makna. Â
Dalam tayangan itu, ada dialog  menarik antara penjual dan pembeli cilok.  Intinya, si pembeli hendak memborong cilok untuk keperluan pekerjanya di sawah. Sedang penjualnya tidak membolehkan. "Silahkan beli secukupnya tapi tidak boleh diborong" kata si penjual.
Terjadilah dialog seru yang 'memusingkan' pemirsa. Mereka saling beradu argumen.  Pembeli berusaha  meyakinkan penjual, bahwa berdagang itu tujuannya laku. Jika diborong habis, harusnya senang karena tujuan tercapai.  Si penjual punya pikiran berbeda. Ia berjualan tidak hanya urusan laku. Bahwa berjualan itu semacam ritme hidup yang harus dilalui dari pagi hingga siang atau sore.
Selain itu berdagang juga untuk bersapa warga dan menjumpai pelanggan seperti si A, si B dst.  Bagi penjual cilok, tidak sampai diotaknya jika dia harus pulang awal dan tak bisa ketemu warga dan para pelanggan. Ada ritme hidup yang mungkin hilang  dalam dirinya.
Perdebatan  jenaka itu sebenarnya mewakili dua jalan pikir yang berbeda. Satu, diwarnai pemikiran modern tentang efektifitas dan pertimbangan ekonomis. Satu lainya berfikiran tradisional yang cenderung mementingkan ritme hidup dan keselarasan. Kerja bukan semata soal produksi dan untung. Kerja adalah fenomena budaya hal mana ada makna makna sosial yang tak semata ekonomis sifatnya. Kedua cara pandang ini sama sama masih 'hidup' saat ini. Â
Mirip dengan penjual cilok. Kawan saya yang sudah sukses hidupnya sebagai dokter desa, suata saat 'bernegosiasi' pada ayahnya yang saban hari masih belepot lumpur sawah dan mencari rumput untuk memberi makan dua ekor sapinya. Si kawan menawarkan siap mengganti berlipat hasil dari bersawah dan beternak sapi asal ayahnya berhenti mengerjakan semua itu.  Tawaran si kawan ditampik ayahnya. Ritme hidup bersama alam dan kebersamaan sosial rupanya tak bisa digantikan  dengan uang.  Sama seperti pedagang cilok, kerja adalah mengikuti ritme hidup dan harmoni sosial.  Begitulah keadaan di masyarakat, tak mesti rasional, efektif dan ekonomis. Jumlah mereka  banyak. Mungkin mayoritas, utamanya di pedesaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H