Kemana dan dimana dolanan anak itu? Mengapa sekarang tak terdengar lagi? Dolanan anak serasa sirna ditelah bumi. Â Anak anak sekarang tak mengenali lagi permainan bocah yang dulu begitu menggembirakan. Â Miris. Hampir tak bersisa. Dulu tiap daerah dolanan itu punya kekhasan, meski banyak yang sama.Â
Sekarang, nyaris tak ada. Sebaliknya, semua dolanan anak sekarang diseragamkan. Di tempat manapun, dibelahan manapun, mainan anak nyaris sama: game atau segala sesuatu yang berbau gad get. Atau mainan apapun yang kurang lebih sama. 'Judulnya' modern, canggih dan  tentu mahal.
Mengapa itu bisa terjadi? Dalam satu ceramahnya, alm  Eyang Koko (Soedjatmoko) pernah pernah menyinggung masalah ini.  Salah satu faktornya adalah sekolah (ada di youtube, klik Ceramah Soedjatmoko).Â
Menurut Begawan Sosial ini, Â sekolah telah merubah dunia anak. Apa yang terjadi di sekolah, tidak ada kaitan dengan kehidupan lingkungan tempat siswa tinggal. Sekolah telah merubah kehidupan anak, termasuk dolanan anak.
Mungkin ada pandangan yang berbeda terkait pudar atau 'raibnya' dolanan anak. Â Saya sependapat Soedjamoko, bahwa sekolah telah menjadi dunia lain bagi siswa.Â
Menurut saya sekolah adalah ejawantah dunia modern dalam skala terbatas. Sekolah adalah suatu tatanan baru yang sedikit banyak ada perbedaan dengan kehidupan  lokal.  Lebih spesifik lagi sekolah adalah bagian dari proses industrialisasi dimana siswa sedang diarahkan dan dibentuk.  Itu mengapa sekolah disemua tingkatan tidak membuat semakin menyatu dengan masyarakat.  Antara sekolah dan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, ada dinding tembok yang tinggi menjulang.
Banyak kita dapati mahasiswa KKN begitu gagap berinteraksi dengan warga atau hidup bersama warga. Mereka punya kesulitan 'bahasa' entah dalam ilmu maupun dalam srawung sosial. Â
Mengapa ini bisa terjadi? Karena memang kampus berorientasi pada kehidupan modern industri. Tak ada kehidupan dan pelajaran kerakyatan dikampus. Pun tak ada pelatihan ketrampilan kemasyarakatan, kecuali masyarakat industrial. Masyarakat, utamanya pedesaan, adalah medan asing mahasiswa. Â
Itu pula yang saya kira mengapa keberadaan perguruan tinggi baik di pusat maupun di daerah tidak banyak memberi efek bagi masyarakat disekitarnya.  Karena ada dua dunia yang berbeda diantara keduanya.  Itu mengapa sering kita dengar  kritik yang mengarah pada 'menara gading' perguruan tinggi.
Kembali pada dolanan anak. Jelaslah  bahwa saat ini dolanan anak adalah sisi kebudayaan yang tergilas. Meski mungkin masih ada satu atau dua, tapi secara umum keberadaannya sudah rata dengan tanah atau bahkan terkubur. Apa yang tersisa adalah nisan dan kenangan. Sebagian pihak mencoba menghidupkan kembali dengan berbagai cara dengan motif yang sudah mulai berbeda.
Dolanan anak hanya salah satu khasanah dari produk budaya lokal. Masih banyak produk produk budaya lain yang nasibnya kurang lebih sama. Modernisasi, yang bernyawakan industrialisasi, telah menyapu banyak hal dari kebudayaan kita. Pertanyaannya, akankah kita berubah bersama arus yang tak bisa dibendung? Atau adakah kita tak membiarkan itu terjadi? Jika iya, lantas bagaimana? Â Sebuah PR kebudayaan yang besar.