“Semua bayi dilahirkan cerdas; 9.999 dari setiap 10.000 bayi itu dengan begitu cepat, dan sembrono dijadikan tidak cerdas lagi oleh orang-orang dewasa.” (Bucminster Fuller)
Kerusakan mental pada anak-anak kita kerap kali berakar pada kegagalan pendidikan dalam membawa perubahan positif. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan untuk mengembangkan potensi anak kini semakin terdistorsi, terjebak dalam pola-pola yang tak lagi relevan. Di tengah arus globalisasi dan tekanan akademis, anak-anak kehilangan esensi dari proses belajar. Dalam esai ini, saya akan mengupas bagaimana sistem pendidikan kita telah menciptakan ketidakjelasan tujuan, memicu perilaku tidak jujur, serta membungkam potensi alami anak-anak yang seharusnya dikembangkan.
Pendidikan yang Kehilangan Arah dan Makna
Sistem pendidikan saat ini lebih menitikberatkan pada pencapaian nilai akademis yang semu, tanpa memperhatikan esensi pendidikan yang sebenarnya: mengembangkan karakter dan potensi alami. Ujian Nasional, sebagai contoh, telah berubah menjadi ajang yang penuh manipulasi, di mana kecurangan menjadi hal yang lumrah. Siswa mencontek, bahkan dengan bantuan guru, demi mempertahankan reputasi sekolah dan menyenangkan orang tua. Semua pihak, mulai dari guru hingga orang tua, terjebak dalam obsesi terhadap angka dan peringkat, melupakan tujuan utama pendidikan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan kita telah kehilangan arah. Pendidikan bukan lagi alat untuk mengubah anak menjadi individu yang berpikir kritis dan mandiri. Sebaliknya, ia menjadi mesin pencetak angka, mengabaikan kebutuhan individual anak. Anak-anak diajarkan untuk mengejar nilai, bukan ilmu pengetahuan, sehingga mereka kehilangan kepekaan dan kreativitas yang seharusnya dibangun melalui proses pendidikan.
Hilangnya Potensi Karena Salah Asuh
Banyak anak yang memiliki potensi besar—baik dalam seni, sains, atau kemampuan lainnya—terabaikan karena fokus yang terlalu besar pada prestasi akademis. Orang tua dan guru lebih sering menilai anak berdasarkan pencapaian dalam mata pelajaran seperti matematika dan fisika, tanpa memperhatikan bakat alami yang dimiliki anak-anak tersebut. Hal ini memperlihatkan betapa sempitnya definisi kesuksesan yang ditanamkan oleh sistem pendidikan kita.
Ketika anak tidak berhasil mencapai standar akademis yang tinggi, mereka diberi label negatif, yang sering kali merusak rasa percaya diri mereka. Banyak anak-anak jenius akhirnya tersisih hanya karena sistem gagal melihat potensi di luar angka-angka di atas kertas. Anak-anak ini bukanlah bodoh, tetapi cara kita mendidik mereka yang belum tepat. Sebagaimana dikatakan Albert Einstein, "Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan." Namun, imajinasi dan kreativitas anak kerap kali dihancurkan oleh ekspektasi akademis yang sempit.
Dampak Globalisasi yang Menenggelamkan Kritik
Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Namun, arus globalisasi juga menenggelamkan banyak kritik yang diajukan terhadap sistem pendidikan kita. Meskipun banyak suara yang menuntut perubahan, mereka sering kali diabaikan atau dibungkam. Para pendidik yang mencoba menerapkan pendekatan baru atau lebih personal untuk mendidik anak sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap sistem yang ada.
Akibatnya, anak-anak terus terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal. Mereka dipaksa untuk bersaing dalam sistem yang hanya menghargai pencapaian akademis, bukan kreativitas, empati, atau kemampuan berpikir kritis. Sistem ini merampas kebebasan anak untuk belajar dan tumbuh sesuai dengan keunikan mereka masing-masing.