Puasa sering kali diartikan sebatas menahan lapar dan haus. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, maknanya jauh lebih luas dan kompleks.
Salah satu topik yang kerap membingungkan adalah perbedaan antara puasa Ramadan dan intermittent fasting. Sekilas mirip, tapi sebenarnya keduanya punya tujuan, proses, dan dampak yang sangat berbeda.
Yoshinori Ohsumi, ilmuwan asal Jepang peraih Hadiah Nobel di bidang Kedokteran, menemukan proses autofagi --- mekanisme di mana sel tubuh memakan bagian yang rusak untuk bertahan hidup dan memperbarui diri. Proses ini terjadi saat tubuh kekurangan asupan makanan, seperti saat berpuasa.
Autofagi ini bisa diibaratkan seperti sistem daur ulang tubuh, membersihkan diri dari bagian sel yang rusak dan memanfaatkan kembali energi yang tersimpan. Namun, jenis puasa yang diteliti Ohsumi adalah intermittent fasting, yang memperbolehkan minum air, teh tanpa gula, atau kopi hitam selama masa puasa.
Lalu, bagaimana dengan puasa Ramadan? Puasa ini memiliki aturan yang jauh lebih ketat dan multidimensi: dari terbit fajar hingga matahari terbenam, tidak boleh makan, minum, bahkan menahan emosi dan hawa nafsu.
Puasa Ramadan bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan juga melatih pengendalian diri secara fisik dan mental. Ini adalah bentuk ibadah yang menyentuh aspek spiritual, sosial, dan budaya. Ada dimensi ketundukan pada Tuhan yang tidak hadir dalam puasa-puasa jenis lain.
Intermittent fasting lebih fokus pada kesehatan fisik. Ada berbagai metode, seperti 16 jam puasa dan 8 jam makan, 18:6, hingga metode lebih ekstrem seperti puasa penuh selama 24 jam dalam jangka waktu tertentu.
Tujuannya lebih ke arah menjaga berat badan, menstabilkan gula darah, memperbaiki metabolisme, bahkan memperpanjang usia menurut beberapa penelitian. Sederhananya, ini adalah strategi pola makan yang didukung sains agar tubuh lebih sehat.
Namun, puasa Ramadan lebih dari sekadar fisik. Ada aspek emosional dan sosial yang tak bisa diabaikan. Berpuasa sebulan penuh di tengah suasana yang kental dengan tradisi, budaya, dan kebersamaan memberikan efek psikologis yang kuat.
Buka puasa bersama keluarga, teman, atau bahkan orang yang baru dikenal menciptakan ikatan sosial yang memperkuat rasa persatuan dan empati. Sementara intermittent fasting bisa dilakukan sendirian dan kapan saja, Ramadan selalu melibatkan nuansa komunitas yang hangat.
Menurut teori psikologi kontrol diri dari Roy Baumeister, pengendalian diri manusia ibarat baterai. Semakin banyak energi mental yang digunakan untuk menahan keinginan atau emosi, semakin cepat tenaga habis. Inilah mengapa di sore hari saat berpuasa sering kali jadi ujian terberat.