Tujuh tahun saya memilih Pertamax. Bukan karena saya punya mobil mewah, bukan karena ingin tampil eksklusif di tengah antrean SPBU. Saya membeli Pertamax karena percaya. Percaya bahwa membayar lebih mahal berarti mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Percaya bahwa inilah cara kecil saya mencintai negeri ini. Seperti seorang warga negara yang baik, saya rela mengeluarkan sedikit lebih banyak demi kualitas. Demi mesin mobil, demi lingkungan, dan---entah mengapa---demi harga diri.
Namun, kepercayaan itu seperti kaca yang dilempar ke dinding beton: hancur berkeping-keping.
Kita ditipu. Begitu brutal, begitu terang-terangan. Dengan wajah tanpa dosa, kita disodori ilusi bahwa Pertamax adalah BBM premium. Padahal, menurut Kejaksaan Agung, Pertamax yang kita beli mungkin tak lebih dari Pertalite yang "dibumbui" sedikit agar kadar oktannya naik. Hanya permainan angka di laboratorium, lalu dijual dengan harga lebih tinggi.
Bayar Mahal untuk Pertalite?
Ketika Kejaksaan Agung mengungkap dugaan pencampuran Pertamax dengan Pertalite (Kompas, 25/02/2025), saya merasa dikhianati. Ini bukan sekadar kasus biasa, ini kebohongan besar.
Kita membayar lebih untuk sesuatu yang kita anggap lebih baik. Tapi ternyata, yang kita dapat hanyalah Pertalite dengan harga Pertamax. Seperti beli susu segar, tapi isinya hanya susu bubuk yang dicampur air. Seperti beli emas, tapi setelah diuji ternyata hanya logam biasa yang dilapisi cat emas.
Diduga, Pertalite RON 90 dibeli murah, lalu dicampur dan dijual sebagai Pertamax RON 92 dengan harga lebih mahal. Ini bukan sekadar bisnis, ini penipuan.
PT Pertamina Patra Niaga diduga melakukan praktik ini sejak 2018. Selama bertahun-tahun, kita membayar lebih untuk bahan bakar yang tidak lebih baik. Negara pun rugi sampai Rp 193,7 triliun (Tempo, 25/02/2025). Dengan uang sebanyak itu, kita bisa membangun 113 rumah sakit tipe A di seluruh Indonesia.
Korupsi yang Terstruktur dan Tidak Berujung
Setiap kali ada berita korupsi, kita harus berpikir lebih jauh. Biasanya, ada orang-orang di atas yang juga terlibat. Korupsi yang mulus tidak bisa berjalan sendiri. Ada jaringan yang melindunginya.
Tidak semua orang yang melaporkan kasus korupsi itu orang baik. Banyak yang melapor bukan karena peduli, tapi karena mereka merasa tidak mendapat bagian. Dalam kasus Pertamina ini, ada dugaan bahwa RON 91 sudah lama ada. Dijual sebagai Pertalite, lalu diubah namanya jadi Pertamax (Kompas, 25/02/2025). Artinya, semua ini mungkin hanya permainan label, bukan peningkatan kualitas bahan bakar.
Yang lebih menyedihkan, kita tidak belajar dari skandal-skandal sebelumnya. Tahun demi tahun, berbagai kasus korupsi meledak di media, tapi setelah beberapa bulan, semuanya menguap begitu saja. Ada yang dihukum, ada yang bebas, dan ada yang menghilang entah ke mana. Sementara kita? Kita tetap harus membayar lebih untuk sesuatu yang seharusnya lebih murah.
Dampaknya ke Kendaraan dan Konsumen
Ini bukan hanya tentang uang negara yang hilang. Ini juga berdampak langsung pada kita sebagai pengguna kendaraan.