Beberapa waktu lalu, seorang teman saya---sebut saja Masjudi---mengalami sesuatu yang mungkin bisa terjadi pada siapa saja.Â
Ia bukan selebritas, bukan pejabat, hanya orang biasa yang iseng berkomentar tentang sebuah isu viral di media sosial. Keesokan harinya, ponselnya meledak oleh notifikasi.Â
Komentarnya dikutip akun-akun besar, dan dalam hitungan jam, ia berubah dari netizen biasa menjadi musuh publik. "Gila, aku cuma ngomong biasa, tiba-tiba dibilang toxic!" keluhnya. Dari sekadar candaan, tiba-tiba ia dihadapkan pada ancaman pemecatan.
Cancel culture, sebuah fenomena yang awalnya populer di Barat, kini mulai merayap masuk ke dalam budaya digital kita. Tapi benarkah ini sekadar tren sesaat, atau kita sedang memasuki era baru di mana satu kesalahan bisa menghancurkan reputasi selamanya?
Dari Hollywood ke Timeline Kita
Di Amerika Serikat, cancel culture sering digunakan untuk meminta pertanggungjawaban figur publik. Seorang selebritas mengucapkan sesuatu yang kontroversial?Â
Ia bisa kehilangan kontrak dalam semalam. Seorang CEO membuat pernyataan yang tidak sesuai dengan nilai sosial terkini? Perusahaannya bisa diboikot. Awalnya, ini dianggap sebagai cara masyarakat memegang kendali---agar mereka yang memiliki kekuasaan tidak bisa berbuat semena-mena.
Namun, fenomena ini berkembang lebih jauh. Kini, cancel culture tidak hanya menargetkan orang-orang berkuasa, tetapi juga individu biasa. Seorang mahasiswa yang bercanda di Twitter lima tahun lalu bisa kehilangan kesempatan kerja karena unggahannya kembali muncul.Â
Seorang pekerja kantoran yang berkomentar soal isu sensitif tiba-tiba diserang dan dicap sebagai musuh masyarakat. Dan ketika itu terjadi, tidak ada ruang untuk klarifikasi, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan.
Indonesia pun tidak lepas dari fenomena ini. Seorang musisi ternama, misalnya, mendapati lagunya menghilang dari playlist karena pernyataan masa lalunya dianggap bermasalah.Â
Seorang aktor yang sudah membangun karier puluhan tahun mendadak kehilangan peran utama setelah sebuah video lamanya kembali mencuat. Cancel culture di sini lebih spontan, lebih emosional, dan sering kali sulit dikendalikan.
Mengapa Kita Mudah Menghakimi?
Bayangkan, Anda sedang bersantai, menikmati kopi, lalu melihat seseorang mengunggah sesuatu yang menurut Anda salah. Jempol Anda gatal.Â