Aku mencoba bernegosiasi. "Bagaimana kalau 30% untuk tagihan, 30% untuk traveling?"Â
Dompet mengeluarkan suara decak. "Kau bahkan tidak bisa jujur pada spreadsheet-mu sendiri."Â
***Â
Sekarang, di atap tetangga, dompet itu melompat ke kabel listrik, bergelayut seperti bajak laut di tali kapal. Uang terakhirku---selembar lima puluh ribu yang sudah kusimpan untuk tiket kereta ke kampung nenek---terbang melayang ke dalam selokan. Aku mendengar suara cekikikan dari bawah, di mana seekor tikus besar sedang melipat uang itu menjadi origami perahu.Â
"Kembalikan!" raungku, tapi tikus itu sudah menghilang di balik pintu sampah.Â
Bos Besar menelepon lagi. "Transfer sekarang, atau kau bisa cari kerja lain."Â
Aku menatap dompet yang kini berdiri di puncak menara air, kedua resletingnya terkembang seperti sayap. "Aku tidak bisa mengejarmu lagi," kataku, suara serak. "Aku punya tanggung jawab."Â
Dompet itu tertawa, getir. "Tanggung jawab pada siapa? Bos yang menggajimu separuh UMR? Atau dirimu sendiri yang kau bohongi tiap pagi?"Â
Tiba-tiba, kartu-kartu di dalamnya melesat keluar, berterbangan membentuk formasi burung bangau. Kartu anggota perpustakaan, kartu vaksin, bahkan karcis parkir dari tahun lalu---semuanya berputar di atas kepalaku seperti badai dedaunan.Â
"Kau pilih uang atau peta jiwamu?" teriak dompet itu, suaranya semakin jauh.Â
Aku mengambil gayung plastik, mengisinya dengan air kotor dari bak mandi, dan melemparkannya ke langit.Â