Aku bangun pagi itu dengan lubang sebesar kepalan tangan di dada.Â
Tidak berdarah, tidak sakit, hanya ada kekosongan yang tembus pandang dari tulang selangka sampai ulu hati. Jam weker masih berdering di lantai ketika jemariku menyentuh tepian lubang itu, dingin seperti kaca mobil yang tertinggal semalaman.Â
Ibu bilang aku harus ke dokter, tapi Dokter Arifin cuma mengernyit sambil mengetuk-ngetuk stetoskop ke betisnya. "Secara medis," katanya, "Anda sehat-sehat saja." Katanya lagi, sambil menatap lubang itu seperti menatap lukisan abstrak di museum, "Mungkin ini psikosomatis." Aku tak memberitahunya bahwa semalam aku baru saja menonton Taxi Driver sampai tiga kali dan makan mi instan dua bungkus.Â
Lubang itu tidak mengganggu. Hanya saja, setiap kali angin bertiup kencang, ada suara siulan melengking dari dalamnya. Tukang pos yang biasa lewat depan rumah sekarang selalu melempar paket dari jarak dua meter. "Awas angina," teriaknya kemarin, seperti aku penderita kusta. Teman sekantor, Roni, malah makin sering mengajak nongkrong. "Keren," bisiknya sambil menunjuk ke dadaku, "Kaya karakter di anime."Â
Tapi malam minggu lalu, ketika hujan deras mengguyur atap warung kopi, seorang perempuan tua duduk di sampingku. Jas hujannya meneteskan air ke lantai, tapi matanya menatap lubang di dadaku seperti membaca rambu jalan. "Dulu suamiku punya lubang di punggung," gumamnya sambil mengaduk kopi tanpa gula. "Sampai suatu hari aku memasukkan tangan ke dalamnya, dan menemukan arloji yang hilang sepuluh tahun." Dia pergi tanpa membayar, meninggalkan sepotong kue lapis terbungkus tisu di meja.Â
Sejak itu, aku mulai iseng memasukkan benda ke dalam lubang. Kunci motor, koin receh, bahkan kaktus mini pemberian mantan. Semuanya lenyap. Suatu sore, saat aku mencoba menjulurkan tangan kanan sendiri, seorang anak kecil teriak histeris di pasar. "Itu orangnya! Itu orangnya!" Ibunya menarik tangan anak itu sambil melotot padaku, berbisik kasar tentang setan pencabut nyawa.Â
Aku tak peduli. Di malam-malam ketika langit Jakarta berwarna jingga karena polusi, lubang ini bersenandung nada minor yang membuat kucing kampung berkumpul di bawah jendela. Kadang aku membayangkan di suatu tempat, di dimensi yang terbalik, semua benda yang kumasukkan ke dalam lubang ini berjatuhan dari langit seperti hujan meteor. Mungkin suatu hari nanti, ponselku yang terjatuh ke dalamnya akan mendarat di atas meja seseorang yang sedang menangis, dan deringnya memutus kesedihan mereka.Â
Tapi pagi tadi, sesuatu yang aneh terjadi. Saat aku hendak menyikat gigi, secarik kertas terlipat keluar dari lubang itu. Tulisan di dalamnya berbunyi: "Tolong jangan buang sampah sembarangan." Aku mengenali huruf-huruf itu. Itu tulisan tanganku sendiri, dari catatan buat tukang sayur tahun lalu.Â
Sekarang aku duduk di sini, menatap botol kecap yang separuh masuk ke dalam lubang. Menunggu apakah ini semacam sistem daur ulang, atau mungkin peringatan. Yang jelas, besok pagi aku harus ke dokter lagi. Atau tukang sihir. Atau tukang servis AC. Siapa tahu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI