Angka itu terpampang di layar laptopku pada sore yang terasa lebih kelabu dari biasanya: 71.000. Tak ada nada, tak ada emosi di dalamnya---hanya rangkaian bilangan yang dingin dan asing. Namun, di balik angka itu, ribuan kisah merintih, tertindih kesunyian yang mencekam.
Tujuh puluh satu ribu perempuan memilih untuk tak menjadi ibu---bukan karena tren, bukan pula gejolak pemberontakan. Ini adalah seruan dalam diam, sebuah protes tanpa kata, sebuah pengingkaran tanpa wajah. Seakan-akan dunia yang mereka tinggali adalah tempat yang tak pernah punya telinga.
Angka ini tidak lahir dari kalangan elite, atau dari kota-kota besar yang sering diasosiasikan dengan pilihan hidup yang "bebas" atau "modern." Data dari Badan Pusat Statistik menyingkap sebuah fakta yang diam-diam mengejutkan: perempuan yang memilih untuk childfree kebanyakan adalah mereka yang berpendidikan menengah ke bawah (Detik.com, 12/11/2024).
Di dalam keputusan mereka yang sunyi, terdengar sebuah kritik yang tajam. Kritik yang tak mereka ucapkan, namun terus hidup sebagai gugatan tak kasat mata pada sistem yang abai, pada masyarakat yang menuntut peran tanpa memberi dukungan.
***
Di ruang tamu rumah-rumah sederhana, suara ibu-ibu terdengar lirih tapi pasti, "Kalau sudah menikah, jangan tunggu lama-lama untuk punya anak. Nanti kamu juga yang repot." Petuah ini, turun temurun melintasi generasi, seolah-olah meresap ke tulang dan darah, membentuk semacam "hukum tak tertulis."Â
Namun, perlahan, satu per satu, perempuan masa kini mulai berjalan di jalur yang berbeda---meski tahu betul bahwa jalan itu bukan jalan tanpa resiko. Stigma, tatapan penuh tanya, bahkan bisik-bisik curiga telah menjadi bagian dari pilihan mereka. Dalam masyarakat yang menggenggam erat tradisi, keputusan untuk tidak melahirkan seakan-akan menjadi pemberontakan, sebuah ancaman tak kasat mata terhadap tatanan.
Aku menatap layar, memandangi angka itu lama, membiarkan arti di dalamnya menyusup. Bayangkan sebuah stadion raksasa, dipenuhi perempuan, semuanya membawa secarik kertas bertuliskan "Tidak." Tidak untuk sistem yang lupa mendengarkan.Â
Tidak untuk janji yang tak pernah tuntas. Tidak untuk masa depan yang disusun tanpa perasaan. Dan, terutama, tidak untuk hidup yang sejak awal seakan hanyalah beban yang tak pernah berhenti memanggul tuntutan.
Di dinding kamarku, jam berdetak lambat, iramanya hampir sama dengan jantung dari sistem yang terus bergerak, tanpa sedikit pun menoleh pada mereka yang tertinggal. Di luar sana, dunia terus berputar, menelantarkan perempuan-perempuan yang terjebak dalam angka dan data tanpa wajah, tanpa suara. Sistem berjalan, meminggirkan empati di belakang parade statistik yang kaku, dan menumpas nurani dalam laju yang tak mengenal ampun.