Musk memimpikan dunia yang sepenuhnya bertenaga listrik, yang bebas dari asap knalpot dan deru mesin diesel.
Musk tahu, masa depan ada pada baterai dan teknologi pintar. Selama ini, Tesla mendominasi segmen kendaraan listrik, namun ia butuh sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mendorong perubahan.
Ford yang punya pengalaman berabad-abad dalam dunia manufaktur adalah potongan teka-teki yang pas. Di mata Musk, ini bukan sekadar pembelian perusahaan; ini adalah pembelian tradisi yang siap diubah menjadi masa depan.
Detroit yang Terkejut, Wall Street yang Bergetar
Di Detroit, reaksi muncul dari segala arah. Bagi sebagian besar pegawai Ford, perusahaan ini adalah keluarga. "Ford itu Amerika," kata seorang teknisi yang sudah bekerja di pabrik Dearborn selama lebih dari 30 tahun.
"Apa jadinya Ford tanpa kami?" suara bergetar, penuh emosi yang terpendam. Mereka khawatir, akan ada gesekan antara prinsip Musk yang serba otomatisasi dan manufaktur tradisional Ford yang penuh tenaga manusia.
Sementara itu, Wall Street pun tak luput dari goncangan. Harga saham Ford langsung melonjak, begitu juga Tesla. Para analis saling berlomba memberikan proyeksi, spekulasi, hingga hitungan di atas kertas tentang bagaimana integrasi ini bisa berjalan.
Di satu sisi, ada optimisme. Ford punya basis produksi dan distribusi yang kokoh. Tesla, di lain sisi, datang dengan teknologi pintar yang tiada tanding.
Kombinasi keduanya---jika berhasil---akan mengubah peta persaingan di pasar otomotif dunia.
"Ini bukan sekadar merger. Ini adalah pertemuan antara jantung industri otomotif dengan otak Silicon Valley," ujar seorang analis di New York Times (New York Times, 5/10/2024).
Namun, Musk tahu ini bukan perkara sederhana. Tidak semua orang siap menerima perubahan ini. Ada budaya, ada cara kerja, ada tradisi yang harus ia hadapi.
Musk tidak menganggapnya sebagai tantangan, melainkan kesempatan. "Kita perlu melihat ke masa depan, tetapi juga menghargai masa lalu," katanya.