Asap putih tipis mengepul dari dapur di pangkuan desa Panggungharjo, Bantul. Pagi yang tenang itu diselubungi aroma lele yang dibakar pelan-pelan di atas bara kayu.Â
Ada rempah dan sedikit aroma sangit yang memanggil, membangkitkan perut, dan menyentuh hati bagi siapa saja yang pernah mengenal masakan Mbah Marto.
"Ndhuk, ojo lali ngliwet ..." suara serak Mbah Marto terdengar dari sudut dapur. Perempuan renta yang sudah begitu lama tenggelam dalam dunia dapur ini bersandar pada dinding, matanya tajam memandang setiap gerakan di sekitarnya.Â
Itulah Simbok Marto---atau Mbah Marto bagi banyak orang---sosok yang di usia senjanya masih saja setia berdiri di depan tungku, memantau setiap proses dari masakannya yang tak lekang oleh zaman.
Pada suatu hari Rabu pagi, ketika kabut masih menutupi langit Yogyakarta, berita tentang Simbok Marto yang berpulang mengejutkan semua orang.Â
Tepat pukul 04.30 WIB, perempuan yang telah menyulap mangut lele menjadi legenda Yogyakarta itu meninggalkan dunia, pada usia yang nyaris mencapai satu abad (espos.id, 6/11/2024).
Poniman, putra kelimanya, berdiri diam di depan dapur sepi itu. "Simbok ki ora iso meneng," ucapnya perlahan, "saben dino pengen kerjo, masak, mboten nate rewel." Air matanya tertahan, seolah mengingat betapa Simboknya adalah nyawa dapur itu.
Bagi Mbah Marto, lele bukanlah sekadar ikan biasa. Dari seekor lele, ia mencipta masakan yang membuat orang rela antre berjam-jam di dapurnya yang sumpek. Proses memasaknya pun teramat teliti.Â
Lele yang dipanggang dengan bara kayu bukan cuma dimatangkan, tapi 'diberi jiwa' lewat aroma asap. Cairan dalam daging ikan menguap, aroma amis tersingkir, dan rasa lele menjadi lebih 'dewasa'---panas, kuat, dan penuh karakter.
"Rasane kudu pas. Ora oleh kesuwen, ora oleh kecepeten,"Â begitu pesan Mbah Marto pada anak-anaknya. Sebuah prinsip yang menuntut kesabaran, ketelitian, dan ketekunan---hal-hal yang tertanam dalam dirinya seperti akar pada tanah.