Siapa yang tidak kenal LPDP? Beasiswa bergengsi yang menjadi impian banyak anak muda Indonesia. Namun, di balik gemerlapnya, muncul pertanyaan besar: apakah LPDP benar-benar menjadi jembatan emas bagi mereka yang membutuhkan, atau justru menjadi pelengkap koleksi piala bagi yang sudah berkecukupan?
Setiap tahun, ribuan mimpi tertuju pada LPDP. Mereka berlomba-lomba membuktikan diri, berharap bisa menggapai cita-cita melalui program ini. Namun, di tengah persaingan sengit, muncul suara-suara yang mempertanyakan keadilan dalam seleksi.
Apakah mereka yang memiliki akses informasi lebih luas, koneksi yang kuat, atau latar belakang ekonomi yang lebih baik memiliki keunggulan yang tidak adil?
Perdebatan semakin memanas ketika Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyatakan bahwa alumni LPDP tidak harus kembali ke Indonesia (Kompas, 3/11/2024).
Pernyataan ini bagai bensin yang menyulut api. Banyak yang bertanya-tanya, untuk apa negara menggelontorkan dana besar jika para penerima beasiswa tidak berkewajiban mengabdi di tanah air?
Lantas, siapakah yang sebenarnya diuntungkan dari LPDP? Apakah program ini sudah benar-benar menjadi katalisator perubahan bagi Indonesia, atau hanya sekadar meningkatkan prestise individu? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab dengan transparan dan akuntabel.
Kompetisi yang Jadi Privilege
Sekilas, LPDP tampak sebagai program yang transparan dan adil, dengan standar penerimaan yang tinggi dan fokus pada prestasi akademik serta potensi kontribusi kepada negara.
Namun, ada satu realita yang jarang dibahas: banyak pelamar berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas yang memiliki akses lebih baik pada pendidikan berkualitas.
Orang-orang dari keluarga mampu sering kali memiliki pengalaman luar negeri sejak dini, akses les tambahan, serta bimbingan yang memungkinkan mereka memiliki CV yang unggul.
Sementara itu, anak-anak dari pelosok daerah yang benar-benar membutuhkan dukungan harus bersaing dengan sumber daya yang terbatas.
Di media sosial, suara-suara lantang pun bermunculan. "Kalau orang tua sudah mampu, kenapa mereka tak biayai sendiri pendidikan anaknya?" tulis seorang netizen, menggambarkan kekesalan publik atas fenomena ini (X, 4/11/2024).
Wajar jika banyak orang merasa bahwa beasiswa yang seharusnya membantu kalangan kurang mampu malah menjadi ajang persaingan bagi mereka yang sebetulnya bisa membiayai diri sendiri.
Tidak sedikit penerima LPDP yang menyebut bahwa beasiswa ini sekadar simbol prestise. Hal ini juga diamini oleh sosiolog Togar Situmorang, yang menyatakan, "Ini soal martabat sosial, bukan soal dana" (Kompas, 5/11/2024).
Pendapat Togar menggarisbawahi bagaimana gengsi telah mengaburkan esensi beasiswa ini, menciptakan persaingan tidak sehat bagi mereka yang sebenarnya membutuhkan dukungan untuk melanjutkan pendidikan.
Ketika Beasiswa Menjadi Lambang Gengsi
Dalam percakapan sehari-hari, LPDP sering kali disebut sebagai simbol prestasi akademis. Ketika seseorang mendapatkan beasiswa LPDP, hal itu kerap dianggap sebagai bukti kesuksesan pribadi dan prestasi yang membanggakan.
Ini menimbulkan persepsi bahwa LPDP bukan lagi soal bantuan finansial, tapi lebih kepada status sosial dan akademis yang disematkan oleh masyarakat.Â
Lantas, jika demikian, apakah beasiswa ini benar-benar tepat sasaran?
Melihat dari perspektif yang lebih luas, fenomena ini bukanlah hal yang baru. Beasiswa telah lama menjadi alat bagi sebagian kelompok untuk menunjukkan status mereka.
Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa pendidikan luar negeri adalah hal yang jauh lebih baik daripada pendidikan dalam negeri.
Namun, apa dampaknya jika beasiswa yang dibiayai oleh uang rakyat justru memperbesar kesenjangan sosial?
Profesor Ahmad Mubarok dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa jika manfaat LPDP hanya dinikmati oleh segelintir orang tanpa kontribusi balik, maka LPDP bisa saja menjadi "subsidi tak berbalas dari uang rakyat" (Detik, 6/11/2024).
Dengan kata lain, investasi besar yang dikeluarkan untuk beasiswa ini mungkin tidak akan pernah benar-benar kembali kepada masyarakat yang mendanainya.
Investasi Pendidikan, Benarkah Tanpa Rugi?
Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah investasi yang selalu menguntungkan, sehingga memberikan beasiswa ke luar negeri tidak akan merugikan negara (Tempo, 2/11/2024).
Namun, realitanya tidak sesederhana itu. Menurut data Kementerian Pendidikan, hanya sekitar 30% penerima LPDP yang memilih untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi mereka.
Selebihnya, banyak yang memilih untuk menetap di luar negeri atau bekerja di sektor swasta, bukan sektor publik.
Dengan kondisi ini, apa yang bisa didapat oleh negara? Banyak alumni yang merasa bahwa kesempatan dan fasilitas kerja di Indonesia masih belum mampu mengakomodasi potensi dan keahlian mereka. Ini menjadi dilema tersendiri.
Haruskah Indonesia terus mendanai pendidikan tinggi dengan harapan akan ada kontribusi balik, meski kesempatan bagi mereka yang kembali belum tentu ada?
Alumni LPDP yang bekerja di luar negeri memang tidak sepenuhnya salah. Setiap orang tentu berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing.
Namun, masalahnya adalah ketika dana publik digunakan untuk membiayai pendidikan yang hasilnya tidak kembali ke dalam negeri, program beasiswa ini justru bisa kehilangan arah dan esensinya.
Haruskah LPDP Didesain Ulang?
Sebuah pertanyaan mendasar pun muncul: haruskah LPDP didesain ulang agar lebih relevan dan tepat sasaran? Ada beberapa solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan.
Misalnya, Indonesia bisa belajar dari negara-negara seperti Jerman atau Singapura, di mana penerima beasiswa diwajibkan bekerja di sektor tertentu setelah lulus untuk memastikan bahwa pendidikan yang mereka peroleh benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Langkah-langkah seperti ini sebenarnya tidak hanya berpotensi meningkatkan rasa keadilan sosial, tapi juga dapat memastikan bahwa LPDP berfungsi sebagai investasi jangka panjang yang benar-benar menguntungkan negara.
Jika program ini diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan dukungan finansial, maka syarat dan proses seleksinya perlu diperbaiki agar tidak menguntungkan kalangan tertentu saja.
Program seperti LPDP tidak hanya perlu memiliki standar prestasi, tetapi juga komitmen moral dari penerimanya.
Jika penerima beasiswa tidak kembali atau tidak memberikan kontribusi langsung, hal ini akan menciptakan persepsi bahwa LPDP hanya sebagai program elitis yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan bangsa.
Refleksi: LPDP dan Keadilan Sosial
Pada akhirnya, LPDP bukan hanya soal angka, prestasi, atau bahkan gengsi semata, melainkan tentang keadilan. Sebuah program beasiswa yang didanai oleh uang rakyat semestinya juga berpihak pada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Saat ini, sudah waktunya bagi Indonesia untuk merenungkan kembali esensi dari LPDP, melihat apakah kebijakan ini sudah tepat sasaran atau hanya menguntungkan segelintir orang saja.
Program beasiswa harus mampu menjangkau masyarakat dari berbagai latar belakang, memastikan bahwa setiap individu yang punya mimpi besar tetapi terbatas oleh kondisi ekonomi bisa mendapat kesempatan yang sama.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu mantan penerima beasiswa, "Saya sadar, pendidikan bukan hanya tentang mengubah hidup saya sendiri, tapi juga tentang membangun bangsa ini menjadi lebih baik" (Tribun, 7/11/2024).
Di tengah era globalisasi dan perubahan sosial yang pesat, LPDP harus menjadi lebih dari sekadar jembatan bagi mereka yang sudah "mapan" menuju pendidikan yang lebih tinggi.
LPDP harus menjadi simbol harapan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, sebuah bukti bahwa pendidikan adalah hak setiap orang, bukan sekadar ajang prestisius bagi yang lebih siap.
Jika kita benar-benar ingin menciptakan program beasiswa yang adil, maka sudah saatnya LPDP berbenah, bukan hanya untuk mereka yang memperoleh beasiswa, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tulang punggung dana ini.
Karena, pada akhirnya, beasiswa ini bukan hanya soal prestasi, tapi juga tentang tanggung jawab kita bersama dalam membangun masa depan yang lebih baik dan lebih adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H