Di media sosial, suara-suara lantang pun bermunculan. "Kalau orang tua sudah mampu, kenapa mereka tak biayai sendiri pendidikan anaknya?" tulis seorang netizen, menggambarkan kekesalan publik atas fenomena ini (X, 4/11/2024).
Wajar jika banyak orang merasa bahwa beasiswa yang seharusnya membantu kalangan kurang mampu malah menjadi ajang persaingan bagi mereka yang sebetulnya bisa membiayai diri sendiri.
Tidak sedikit penerima LPDP yang menyebut bahwa beasiswa ini sekadar simbol prestise. Hal ini juga diamini oleh sosiolog Togar Situmorang, yang menyatakan, "Ini soal martabat sosial, bukan soal dana" (Kompas, 5/11/2024).
Pendapat Togar menggarisbawahi bagaimana gengsi telah mengaburkan esensi beasiswa ini, menciptakan persaingan tidak sehat bagi mereka yang sebenarnya membutuhkan dukungan untuk melanjutkan pendidikan.
Ketika Beasiswa Menjadi Lambang Gengsi
Dalam percakapan sehari-hari, LPDP sering kali disebut sebagai simbol prestasi akademis. Ketika seseorang mendapatkan beasiswa LPDP, hal itu kerap dianggap sebagai bukti kesuksesan pribadi dan prestasi yang membanggakan.
Ini menimbulkan persepsi bahwa LPDP bukan lagi soal bantuan finansial, tapi lebih kepada status sosial dan akademis yang disematkan oleh masyarakat.Â
Lantas, jika demikian, apakah beasiswa ini benar-benar tepat sasaran?
Melihat dari perspektif yang lebih luas, fenomena ini bukanlah hal yang baru. Beasiswa telah lama menjadi alat bagi sebagian kelompok untuk menunjukkan status mereka.
Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa pendidikan luar negeri adalah hal yang jauh lebih baik daripada pendidikan dalam negeri.
Namun, apa dampaknya jika beasiswa yang dibiayai oleh uang rakyat justru memperbesar kesenjangan sosial?
Profesor Ahmad Mubarok dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa jika manfaat LPDP hanya dinikmati oleh segelintir orang tanpa kontribusi balik, maka LPDP bisa saja menjadi "subsidi tak berbalas dari uang rakyat" (Detik, 6/11/2024).