"Tanpa ujian, kita hanya menebak, tanpa tujuan; dengan ujian, kita menetapkan standar, menumbuhkan tanggung jawab, dan menghormati kompetensi sebagai hak setiap siswa."
UN, Antara Kritik dan Harapan
Sejak dihapuskan beberapa tahun silam, Ujian Nasional (UN) menjadi bahan perdebatan panjang.
Banyak yang merasa lega dengan penghapusan ini, menganggapnya sebagai langkah maju dalam meredam tekanan akademik yang sering kali membuat siswa stres.
Namun, tak sedikit pula yang memandang kembalinya UN sebagai kebutuhan untuk menjaga kualitas pendidikan. Mereka khawatir, tanpa UN, kita kehilangan tolok ukur yang jelas dan objektif dalam menilai pencapaian siswa di seluruh Indonesia.
UN, bagi sebagian besar orang tua dan guru, adalah lebih dari sekadar ujian. Ia adalah alat evaluasi nasional yang mengukur capaian siswa dan sekolah dalam lingkup yang sama di seluruh negeri.
Bagi para pendukungnya, UN bukan sekadar angka di atas kertas. Ia adalah cermin, yang menunjukkan seberapa jauh kita telah melangkah, dan kompas yang menuntun pendidikan kita ke arah yang lebih baik.
Di sisi lain, kritik terhadap UN juga tak kalah kuat. Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, mengingatkan bahwa kembalinya UN berpotensi membawa kemunduran.
Menurutnya, UN dapat mendorong kecurangan sistemik dan menanamkan pandangan sempit bahwa pendidikan adalah soal angka dan nilai tinggi.
"Kita sudah melihat dampak buruknya dulu: kecurangan dilegalkan demi memastikan kelulusan sempurna," ujar Nisa di forum diskusi PSKP baru-baru ini (Tempo, 30/10/2024).
Mengapa Standar Pendidikan Itu Penting?
Perdebatan soal standar pendidikan bukanlah hal baru. Dalam dunia yang berubah cepat, ada kebutuhan untuk menyeimbangkan antara mendorong perkembangan individu dan menjaga standar yang adil bagi semua siswa.