Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Indonesia di Persimpangan BRICS, Jalan Tengah dalam Polarisasi Dunia

27 Oktober 2024   00:00 Diperbarui: 27 Oktober 2024   03:03 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menlu Sugiono saat tiba di Kazan, Rusia, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-16 BRICS | via kompas.com

Di ruang pertemuan diplomatik yang penuh tanya, di tengah dinginnya udara Rusia, Indonesia, negara kepulauan terbesar di khatulistiwa, mengambil kursi dengan langkah hati-hati.

Tidak hanya sebagai penonton, tetapi sebagai calon anggota BRICS---koalisi ekonomi dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.

Pada hari Kamis di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kazan, dunia mendengar komitmen Indonesia untuk bergabung dalam aliansi ini, meski mungkin tak seluruhnya memahami apa yang melatarbelakangi pilihan tersebut.

BRICS: Rumah bagi yang Tak Punya Rumah

BRICS bukanlah NATO, yang terbentuk dengan aliansi militer; bukan pula Uni Eropa, yang dikelola dengan aturan ketat. BRICS adalah sebuah rumah bagi negara-negara yang tak ingin sekadar menjadi satelit kekuatan besar.

Tanpa sumpah setia yang formal, BRICS menyatukan negara-negara dengan satu kesamaan: hasrat untuk memiliki ruang ekonomi yang lebih adil, yang tak dikendalikan penuh oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Dalam pandangan ini, BRICS menjadi simbol kebebasan pragmatis, di mana kepentingan ekonomi lebih utama dibanding ideologi. Tak ada paksaan politik atau gaya hidup yang harus ditiru oleh para anggotanya.

Ketika Indonesia menyatakan niatnya untuk bergabung, hal ini bukan soal memilih kubu baru. Sebaliknya, niat ini adalah bentuk eksplorasi, menemukan ruang untuk bergerak di dunia yang semakin penuh sekat dan batasan.

Peluang dari Ketiadaan Keterikatan

Bagi Indonesia, BRICS membuka peluang yang sulit ditemukan di forum ekonomi berbasis Barat. Salah satu keuntungannya adalah pengurangan ketergantungan pada dolar AS.

Dominasi dolar dalam perdagangan global adalah kenyataan yang tak terbantahkan, namun di dalam BRICS, ada kesempatan untuk bertransaksi dalam mata uang lokal. Kebijakan yang tampak sederhana ini, dalam jangka panjang, bisa membawa dampak besar bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Tanpa sepenuhnya tunduk pada fluktuasi dolar yang tak terduga, negara ini bisa bernapas lebih lega dalam menentukan kebijakan ekonomi sendiri. Apakah ini kunci stabilitas ekonomi Indonesia? Jawabannya belum pasti, tetapi pilihan ini membuka peluang baru yang lebih fleksibel.

Politik Luar Negeri Bebas Aktif: Konsep Usang atau Harapan Baru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun