Di ruang pertemuan diplomatik yang penuh tanya, di tengah dinginnya udara Rusia, Indonesia, negara kepulauan terbesar di khatulistiwa, mengambil kursi dengan langkah hati-hati.
Tidak hanya sebagai penonton, tetapi sebagai calon anggota BRICS---koalisi ekonomi dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Pada hari Kamis di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kazan, dunia mendengar komitmen Indonesia untuk bergabung dalam aliansi ini, meski mungkin tak seluruhnya memahami apa yang melatarbelakangi pilihan tersebut.
BRICS: Rumah bagi yang Tak Punya Rumah
BRICS bukanlah NATO, yang terbentuk dengan aliansi militer; bukan pula Uni Eropa, yang dikelola dengan aturan ketat. BRICS adalah sebuah rumah bagi negara-negara yang tak ingin sekadar menjadi satelit kekuatan besar.
Tanpa sumpah setia yang formal, BRICS menyatukan negara-negara dengan satu kesamaan: hasrat untuk memiliki ruang ekonomi yang lebih adil, yang tak dikendalikan penuh oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Dalam pandangan ini, BRICS menjadi simbol kebebasan pragmatis, di mana kepentingan ekonomi lebih utama dibanding ideologi. Tak ada paksaan politik atau gaya hidup yang harus ditiru oleh para anggotanya.
Ketika Indonesia menyatakan niatnya untuk bergabung, hal ini bukan soal memilih kubu baru. Sebaliknya, niat ini adalah bentuk eksplorasi, menemukan ruang untuk bergerak di dunia yang semakin penuh sekat dan batasan.
Peluang dari Ketiadaan Keterikatan
Bagi Indonesia, BRICS membuka peluang yang sulit ditemukan di forum ekonomi berbasis Barat. Salah satu keuntungannya adalah pengurangan ketergantungan pada dolar AS.
Dominasi dolar dalam perdagangan global adalah kenyataan yang tak terbantahkan, namun di dalam BRICS, ada kesempatan untuk bertransaksi dalam mata uang lokal. Kebijakan yang tampak sederhana ini, dalam jangka panjang, bisa membawa dampak besar bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Tanpa sepenuhnya tunduk pada fluktuasi dolar yang tak terduga, negara ini bisa bernapas lebih lega dalam menentukan kebijakan ekonomi sendiri. Apakah ini kunci stabilitas ekonomi Indonesia? Jawabannya belum pasti, tetapi pilihan ini membuka peluang baru yang lebih fleksibel.