Saat ini, P5 berjalan tanpa alat ukur yang jelas untuk menilai dampaknya terhadap siswa. Apakah siswa benar-benar berkembang secara karakter? Ataukah proyek ini hanya menjadi formalitas administratif yang menguras jam belajar?
Abdul Mu'ti perlu meninjau kembali bagaimana P5 diintegrasikan ke dalam kurikulum agar tidak terjadi pengurangan jam pelajaran inti yang berdampak pada prestasi akademik siswa.
Standarisasi yang Terabaikan
Salah satu kekhawatiran terbesar mengenai Kurikulum Merdeka adalah absennya ujian nasional yang terstandarisasi sebagai alat ukur utama kemampuan siswa.
Walaupun kebijakan ini dilihat sebagai upaya mengurangi tekanan berlebih pada siswa, kenyataannya, ujian nasional atau bentuk evaluasi serupa tetap diperlukan sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa dan kualitas pendidikan antar wilayah.
Tanpa alat ukur yang jelas, sulit bagi pemerintah untuk mengetahui mana saja daerah yang membutuhkan intervensi, baik dalam bentuk peningkatan kualitas guru maupun infrastruktur.
Data dari ujian nasional dapat memberikan peta yang akurat mengenai kesenjangan pendidikan di Indonesia, sehingga pemerintah dapat menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Sebagai contoh, hasil ujian nasional pada masa lalu sering kali menunjukkan bahwa daerah-daerah tertinggal seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur masih membutuhkan peningkatan infrastruktur dan pelatihan guru yang lebih intensif (SindoNews.com, 14/10/2024).
Di bawah kepemimpinan Abdul Mu'ti, penting untuk mempertimbangkan kembali bentuk evaluasi yang terstandarisasi di setiap jenjang pendidikan. Evaluasi ini tidak harus dalam format ujian nasional seperti dulu, tetapi bisa dikembangkan menjadi alat yang lebih holistik dan mencerminkan kemampuan siswa secara menyeluruh.
Yang terpenting, evaluasi ini harus mampu memberikan data yang konkret untuk memperbaiki kualitas pendidikan di seluruh Indonesia.
Pelatihan Guru, Solusi atau Beban?
Saat berbicara tentang peningkatan kompetensi guru, sering kali muncul gagasan bahwa pelatihan dan pengembangan profesional adalah solusinya.
Namun, dalam konteks Kurikulum Merdeka, pelatihan yang ada sering kali terlalu umum dan tidak relevan dengan kondisi lokal. Banyak guru yang merasa bahwa tuntutan untuk menambah kompetensi sering kali dipaksakan tanpa memperhatikan kebutuhan spesifik mereka di lapangan (AntaraNews.com, 09/10/2024).