Presiden Prabowo Subianto memulai 100 hari pertamanya dengan janji besar kepada rakyat Indonesia. Dari swasembada pangan hingga reformasi birokrasi, program prioritas ini menggarisbawahi tekad Prabowo untuk membuktikan bahwa pemerintahannya adalah kabinet zaken---efisien, profesional, dan berorientasi pada hasil.
Namun, di tengah optimisme ini, terselip kekhawatiran yang sah: apakah struktur Kabinet Merah Putih yang besar, dengan 48 kementerian dan wakil-wakilnya, mampu memenuhi ekspektasi publik atau justru terjebak dalam tantangan koordinasi yang rumit?
Di Indonesia, 100 hari pertama bukan hanya tolok ukur performa, melainkan juga momentum penting untuk menciptakan kepercayaan publik. Harapan tinggi datang dari berbagai lapisan masyarakat, yang menanti dengan was-was apakah janji-janji kampanye akan diimplementasikan.
Lebih jauh lagi, dengan kabinet yang menggabungkan politisi, akademisi, serta sosok dari militer, apakah kombinasi ini menghasilkan kerja sama yang sinergis atau justru menambah beban koordinasi lintas sektoral?
Tantangan Koordinasi: Struktur Gemuk dan Efektivitas
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tradisi politik di mana konsolidasi kekuatan politik sering kali menciptakan kabinet besar.
Dalam pemerintahan Prabowo, 17 program prioritas yang diajukan mencakup bidang-bidang krusial seperti swasembada pangan dan energi, serta reformasi politik. Tantangan yang dihadapi bukan sekadar implementasi kebijakan, melainkan juga memastikan agar koordinasi lintas kementerian berjalan dengan baik.
Namun, tantangan ini bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan Jokowi, misalnya, kabinet gemuk kerap dikritik karena lambatnya pengambilan keputusan dan adanya tumpang tindih kebijakan.
Ketika Jokowi menghadapi situasi serupa, dia menggunakan pendekatan konsolidasi politik dengan mengakomodasi berbagai partai. Akan tetapi, langkah tersebut tak luput dari kritik karena dinilai memperlambat efektivitas.
Dalam kasus Prabowo, kabinet yang besar membawa risiko yang sama. Meski menjanjikan kabinet zaken, pengaruh politik dari koalisi pengusung tetap menjadi faktor dominan dalam pembagian kursi menteri, sebuah dinamika yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Selain itu, struktur kabinet yang terdiri dari 7 kementerian koordinator menambah kompleksitas koordinasi antar-lembaga. Koordinasi lintas kementerian yang tidak berjalan baik dapat menyebabkan inefisiensi dalam pelaksanaan program pemerintah.