Ekonomi Lesu, PHK Merajalela, Bagaimana Prabowo-Gibran Menyiasatinya?
Indonesia berada di tengah persimpangan ekonomi yang sulit. Dengan transisi kekuasaan yang segera terjadi dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin ke pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, kondisi ekonomi yang lesu menjadi ujian pertama bagi pemerintahan baru.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12% pada September 2024, deflasi terdalam dalam lima tahun terakhir. Deflasi ini merupakan cerminan lemahnya permintaan domestik dan daya beli masyarakat yang tergerus akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, terutama di sektor manufaktur.
Dengan tantangan ini, kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo-Gibran akan menjadi sorotan utama, dan masyarakat berharap kepemimpinan baru dapat membawa Indonesia keluar dari krisis.
Namun, dengan semakin banyaknya PHK dan kurangnya lapangan pekerjaan di sektor padat karya, apakah kebijakan mereka mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari keterpurukan?
Deflasi yang Berkepanjangan: Tanda-tanda Krisis Ekonomi
Deflasi yang dialami Indonesia selama lima bulan berturut-turut menjadi alarm bagi kesehatan ekonomi nasional. Angka 0,12% pada September mungkin terdengar kecil, namun dampaknya terasa signifikan bagi perekonomian.
Ketika harga-harga barang turun, konsumen sering kali menunda belanja, menunggu harga turun lebih jauh. Ini menciptakan siklus penurunan permintaan yang dapat memperparah krisis ekonomi.
Menurut Muhammad Andri Perdana, seorang pengamat ekonomi, "Deflasi yang berkelanjutan mengindikasikan adanya penurunan aktivitas ekonomi, terutama di sektor-sektor yang berkaitan erat dengan konsumsi masyarakat. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini bisa menyebabkan kontraksi ekonomi yang lebih parah."
Bukti nyata dari kondisi ini adalah lonjakan jumlah PHK yang dilaporkan Kementerian Ketenagakerjaan. Hingga Oktober 2024, sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena PHK, dengan prediksi angka tersebut akan terus meningkat hingga mencapai lebih dari 70.000 tenaga kerja sebelum akhir tahun.
Sektor manufaktur menjadi korban utama dari krisis ini, di mana banyak perusahaan yang bangkrut atau merelokasi pabrik mereka ke daerah dengan upah minimum yang lebih rendah.
Minimnya Lapangan Kerja di Sektor Padat Karya
Salah satu masalah utama yang harus dihadapi pemerintahan baru adalah krisis ketenagakerjaan, terutama di sektor padat karya. Dalam lima tahun terakhir, nyaris tidak ada pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor ini, padahal sektor padat karya seperti manufaktur dan pertanian adalah tulang punggung bagi penyerapan tenaga kerja Indonesia.