Cinta yang sederhana. Mereka duduk bersebelahan, mungkin tanpa banyak bicara, tetapi kehadiran satu sama lain sudah lebih dari cukup. Sang suami, mungkin tidak mengucapkan kalimat puitis seperti dalam novel, tapi tangannya yang menggenggam tangan istrinya yang rapuh, itulah bentuk cinta yang paling sejati.
Bajaj yang mereka naiki, dengan getaran dan bunyi deru mesinnya, menjadi metafora yang pas untuk perjalanan cinta mereka. Ada guncangan, ada kebisingan, dan jalan yang mereka lalui tak selalu rata. Tetapi mereka tetap di sana, duduk bersama. Karena, pada akhirnya,Â
cinta bukan soal seberapa lancar perjalanan itu, tapi tentang siapa yang duduk di sebelahmu ketika jalan terasa berat.
Konflik Kecil
Setiap hubungan, terutama yang sudah berlangsung puluhan tahun, pasti dipenuhi oleh konflik kecil. Mungkin ada saat di mana sang suami lupa ulang tahun pernikahan mereka yang ke-25.
Atau mungkin ada momen di mana sang istri tidak sengaja menyakiti ego suaminya dengan kata-kata yang tajam. Konflik kecil ini mungkin terlihat sepele, tapi di dalamnya tersembunyi kesempatan untuk memilih: apakah akan terus melukai, atau berhenti dan saling merangkul?
Pasangan tua yang saya lihat itu, saya yakin, sudah melalui ratusan, mungkin ribuan konflik kecil. Mungkin di masa muda mereka, pertengkaran itu terasa seperti akhir dunia. Tapi sekarang, di usia senja, mereka telah memahami bahwa konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan bagian alami dari perjalanan bersama.
Apa yang membuat mereka bisa terus bertahan? Jawabannya adalah memaafkan. Setiap kali salah satu dari mereka melukai yang lain---baik karena kesalahan kecil atau ketidaksengajaan---mereka memilih untuk merajut kembali hubungan itu dengan benang kesabaran dan maaf. Setiap kali hati terasa berat, mereka memilih untuk meletakkannya sebentar, mengosongkan dada, dan kembali melihat satu sama lain dengan penuh pengertian. Inilah kemenangan besar dalam pernikahan: bukan karena mereka tidak pernah berdebat, tetapi karena mereka selalu memilih untuk kembali bersama setelahnya.
Lebih dari Sekadar Bahagia
Kita sering terjebak dalam anggapan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang selalu bahagia. Tapi pasangan tua ini mengajarkan kita pelajaran penting: cinta yang sejati adalah cinta yang bertahan, meski kebahagiaan datang dan pergi. Mungkin, di masa-masa sulit, mereka tak selalu merasa bahagia. Tapi itu tidak berarti mereka menyerah. Mereka tidak lari saat badai datang, melainkan tetap bertahan, mencari tempat berteduh bersama, dan menunggu hujan reda.
Lihatlah senyum mereka. Senyum itu bukan hanya simbol dari kebahagiaan, tapi juga dari perjuangan yang panjang. Setiap keriput di wajah mereka adalah bukti dari ribuan hari yang mereka lewati, dari ribuan kata maaf yang mereka ucapkan, dari ribuan luka kecil yang sudah mereka sembuhkan bersama. Senyum itu, yang mungkin terlihat sederhana bagi orang lain, adalah lambang dari cinta yang tak pernah menyerah.
Sekuncup Doa
Jadi, ketika saya melihat pasangan tua itu keluar dari rumah sakit, saya tahu bahwa saya sedang menyaksikan sesuatu yang luar biasa. Memaafkan adalah hal yang sulit, tetapi mereka telah membuktikan bahwa itu adalah kunci dari cinta yang abadi.
Dan dalam kesederhanaan perjalanan mereka, saya hanya bisa berharap, "Cepat sembuh, Bu. Sehat selalu, Bapak dan Ibu." Karena setiap kali mereka duduk bersama di dalam bajaj itu, mereka mengajarkan kita semua pelajaran penting tentang cinta---bahwa cinta tidak perlu sempurna, hanya perlu bertahan.
Pada akhirnya, cinta adalah tentang tetap tinggal, meski dunia tak selalu berjalan sesuai keinginan. Ini bukan tentang mencari kebahagiaan yang sempurna, tetapi tentang menemukan makna dalam ketidaksempurnaan. Senyum keriput itu, itulah rahasianya.