Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sri Mulyani Seharusnya Lebih Terbuka dalam Menjelaskan Deflasi

8 Oktober 2024   15:55 Diperbarui: 8 Oktober 2024   15:56 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia mengalami tren deflasi yang cukup signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa deflasi bukanlah sinyal negatif bagi ekonomi Indonesia, terutama karena penurunan harga pangan (Kompas, 4/10/2024).

Menurutnya, penurunan harga makanan dapat membantu menjaga kestabilan harga dan memberi manfaat bagi konsumen, terutama mereka yang memiliki pengeluaran besar untuk kebutuhan pangan.

Meskipun pernyataan ini tampak meyakinkan, analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa deflasi seharusnya tidak dianggap enteng.

Deflasi: Tidak Selalu Kabar Baik

Deflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa mengalami penurunan secara umum dalam suatu perekonomian.

Pada pandangan pertama, deflasi bisa tampak menguntungkan karena daya beli masyarakat meningkat. Dengan uang yang sama, konsumen dapat membeli lebih banyak barang dan jasa.

Namun, di balik keuntungan jangka pendek ini, ada sejumlah risiko yang harus diperhitungkan. Deflasi sering kali menandakan adanya masalah struktural dalam perekonomian yang dapat mempengaruhi produksi, konsumsi, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Jika deflasi terjadi dalam jangka panjang, hal itu bisa menjadi tanda lemahnya permintaan konsumen dan penurunan aktivitas ekonomi.

Penurunan harga yang terus-menerus dapat memicu perusahaan untuk mengurangi produksi dan investasi, yang pada akhirnya berdampak pada pemutusan hubungan kerja dan penurunan upah.

Lebih jauh lagi, deflasi dapat memicu ekspektasi bahwa harga akan terus turun, yang membuat konsumen menunda pembelian, memperparah penurunan permintaan dan memperlambat pemulihan ekonomi.

Kekhawatiran Soal Daya Beli dan Konsumsi

Salah satu indikasi utama dari permasalahan deflasi yang dialami Indonesia saat ini adalah penurunan daya beli masyarakat.

Ekonom dari INDEF, Tauhid Ahmad, mencatat bahwa deflasi ini tidak semata-mata disebabkan oleh penurunan harga pangan, tetapi juga oleh penurunan konsumsi rumah tangga dan kredit yang melemah.

Pengurangan pembelian barang-barang seperti kendaraan bermotor dan tabungan yang mulai tergerus adalah sinyal kuat bahwa daya beli masyarakat menurun.

Ini menjadi persoalan serius karena konsumsi rumah tangga menyumbang porsi terbesar dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Ketika masyarakat mulai menunda belanja, dampaknya langsung terasa pada pertumbuhan ekonomi. Penurunan daya beli juga dipicu oleh ketidakpastian ekonomi yang menyebabkan masyarakat lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang.

Pilkada dan Momentum Akhir Tahun: Solusi Sementara?

Sri Mulyani mungkin optimis bahwa deflasi ini bukanlah pertanda buruk, namun melihat data yang ada, ketergantungan pada faktor sementara seperti Pilkada dan momen Natal serta Tahun Baru bukanlah solusi jangka panjang.

Pilkada memang akan mendorong sedikit aktivitas ekonomi lokal melalui pengeluaran kampanye, tetapi dampaknya terbatas. Menurut Tauhid, peningkatan konsumsi selama libur akhir tahun juga diperkirakan tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya karena kondisi ekonomi yang masih lesu.

Harapan terbesar adalah agar momentum Natal dan Tahun Baru dapat memulihkan sebagian daya beli masyarakat.

Namun, jika situasi ekonomi secara umum masih belum stabil dan pendapatan masyarakat tetap rendah, pertumbuhan yang diharapkan bisa sangat terbatas. Ini menunjukkan bahwa masalah fundamental ekonomi, terutama dalam hal daya beli dan konsumsi, perlu segera ditangani oleh pemerintah.

Lebih Terbuka dalam Penjelasan

Kita sebagai masyarakat, berharap kepada pemerintah, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, seharusnya lebih terbuka dan transparan dalam menjelaskan dampak deflasi.

Meskipun penurunan harga pangan mungkin memberi keuntungan bagi konsumen dalam jangka pendek, kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa penurunan daya beli adalah persoalan mendasar yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.

Penjelasan yang lebih mendetail tentang bagaimana pemerintah akan mengatasi dampak negatif dari deflasi sangat diperlukan.

Sri Mulyani menyebut bahwa penurunan harga pangan adalah perkembangan yang positif. Namun, untuk benar-benar menilai apakah deflasi ini baik atau buruk, kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor:

  • Produktivitas: Apakah penurunan harga disebabkan oleh peningkatan efisiensi produksi atau penurunan permintaan?
  • Daya Beli: Bagaimana tren daya beli masyarakat? Apakah mereka mampu membeli barang-barang lain di luar pangan?
  • Kondisi Ekonomi Global: Bagaimana pengaruh deflasi ini terhadap daya saing produk Indonesia di pasar internasional?

Tantangan bagi Pemerintah

Deflasi bukan hanya soal penurunan harga yang sederhana. Meskipun Sri Mulyani berargumen bahwa deflasi yang disebabkan oleh penurunan harga pangan bukanlah sinyal negatif, analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa tren deflasi lima bulan berturut-turut ini justru mengindikasikan adanya masalah struktural dalam ekonomi.

Penurunan daya beli dan konsumsi harus menjadi perhatian utama, dan pemerintah harus segera merespon dengan kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian.

Sri Mulyani perlu lebih terbuka dalam memberikan penjelasan terkait deflasi ini agar masyarakat dapat memahami dampaknya dengan jelas. Terlebih lagi, kebijakan yang lebih konkret dan transparan harus diambil untuk mencegah deflasi berkepanjangan yang bisa berakibat fatal bagi pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun