Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia mengalami tren deflasi yang cukup signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa deflasi bukanlah sinyal negatif bagi ekonomi Indonesia, terutama karena penurunan harga pangan (Kompas, 4/10/2024).
Menurutnya, penurunan harga makanan dapat membantu menjaga kestabilan harga dan memberi manfaat bagi konsumen, terutama mereka yang memiliki pengeluaran besar untuk kebutuhan pangan.
Meskipun pernyataan ini tampak meyakinkan, analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa deflasi seharusnya tidak dianggap enteng.
Deflasi: Tidak Selalu Kabar Baik
Deflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa mengalami penurunan secara umum dalam suatu perekonomian.
Pada pandangan pertama, deflasi bisa tampak menguntungkan karena daya beli masyarakat meningkat. Dengan uang yang sama, konsumen dapat membeli lebih banyak barang dan jasa.
Namun, di balik keuntungan jangka pendek ini, ada sejumlah risiko yang harus diperhitungkan. Deflasi sering kali menandakan adanya masalah struktural dalam perekonomian yang dapat mempengaruhi produksi, konsumsi, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Jika deflasi terjadi dalam jangka panjang, hal itu bisa menjadi tanda lemahnya permintaan konsumen dan penurunan aktivitas ekonomi.
Penurunan harga yang terus-menerus dapat memicu perusahaan untuk mengurangi produksi dan investasi, yang pada akhirnya berdampak pada pemutusan hubungan kerja dan penurunan upah.
Lebih jauh lagi, deflasi dapat memicu ekspektasi bahwa harga akan terus turun, yang membuat konsumen menunda pembelian, memperparah penurunan permintaan dan memperlambat pemulihan ekonomi.
Kekhawatiran Soal Daya Beli dan Konsumsi
Salah satu indikasi utama dari permasalahan deflasi yang dialami Indonesia saat ini adalah penurunan daya beli masyarakat.
Ekonom dari INDEF, Tauhid Ahmad, mencatat bahwa deflasi ini tidak semata-mata disebabkan oleh penurunan harga pangan, tetapi juga oleh penurunan konsumsi rumah tangga dan kredit yang melemah.