Ketika mendengar seseorang berkata, "Berpikir kritis, kreatif, dan inovatif," rasanya seperti mendengar kata-kata ajaib.
Di setiap seminar motivasi atau pelatihan pengembangan diri, ungkapan ini pasti muncul, seolah menjadi mantra kesuksesan. Tapi tunggu dulu, benarkah ada rumus instan untuk menjadi kreatif dan inovatif?Â
Apakah cukup hanya mengikuti langkah-langkah yang diberikan pembicara seminar, lalu mendadak kita menjadi jenius? Atau mungkin, ada cara yang lebih sederhana, namun lebih berdampak?
Saya jadi teringat percakapan dengan seorang teman lama, seorang pengusaha kecil di Purwokerto. "Seminar itu cuma trik pemasaran," katanya sambil tertawa. "Banyak omong, tapi pas pulang, ya balik lagi ke masalah yang sama. Pikiranku tetap mentok," ucapannya membuat saya berpikir ulang.Â
Apakah benar seminar-seminar ini hanya menanamkan metode standar yang tidak memecahkan masalah mendasar? Jika iya, mungkin sudah waktunya kita berpaling ke sesuatu yang lebih mendasar: membaca.
Membaca Adalah "Pendapat Kedua" yang Kita Butuhkan
Pernahkah Anda merasa bahwa ketika membaca, Anda tiba-tiba dihadapkan pada dunia yang berbeda?Â
Buku tidak hanya menawarkan informasi baru, tapi juga perspektif lain---pendapat kedua atas apa yang kita alami atau yakini. Saat Anda membaca, Anda diberi kesempatan untuk meninjau ulang asumsi dan keyakinan. Inilah esensi dari berpikir kritis.
Saya sendiri mengalaminya ketika membaca buku 1984 karya George Orwell. Pertama kali, saya menganggapnya sebagai kisah fiksi yang jauh dari kenyataan.Â
Namun, ketika membacanya lagi bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bagaimana kisah itu menyoroti masalah kontrol pemerintah dan manipulasi informasi, hal-hal yang relevan dengan kehidupan saat ini.Â
Membaca, pada dasarnya, memberi kita kekuatan untuk terus mempertanyakan, dan inilah yang membuat kita berpikir kritis dan kreatif.