Hari itu, suasana di SMPN L Sidoharjo terasa berbeda. Ada semacam kegembiraan yang berbaur dengan rasa tegang yang menggantung di udara.
Hari pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS akhirnya tiba, dan seluruh siswa, guru, serta para orang tua dengan penuh antusias mengikuti proses yang telah menjadi bagian penting dalam membangun pengalaman berdemokrasi di lingkungan sekolah.
Bagi saya, sebagai orang tua dari salah satu kandidat, pemilihan ini bukan hanya tentang siapa yang terpilih memimpin OSIS, tetapi lebih kepada bagaimana nilai-nilai demokrasi ditanamkan pada anak-anak kami sejak dini. Melihat persiapan dan antusiasme para siswa, saya teringat bahwa proses ini mencerminkan miniatur dari pemilihan yang terjadi di dunia luar---di dunia orang dewasa---namun dengan nuansa yang lebih jujur dan polos.
Persiapan yang Matang, Lebih dari Sekadar Formalitas
Segalanya dimulai dari tahap yang tampak sederhana, yaitu pendaftaran. Setiap calon, bersama pasangannya, harus mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan.
Tetapi yang membuat saya kagum adalah bagaimana para siswa, yang masih duduk di bangku SMP, sudah diajarkan untuk berpikir tentang visi dan misi mereka. Setiap kandidat harus memikirkan apa yang ingin mereka capai jika terpilih, dan lebih dari itu, bagaimana mereka akan membawa perubahan positif bagi sekolah dan teman-teman mereka.
Ini bukan hanya sekadar tulisan formal. Para calon benar-benar dituntut untuk menyatukan visi dan misi mereka dengan bahasa yang dapat dipahami dan dirasakan oleh seluruh siswa. Mereka juga ditugaskan membuat spanduk atau bener dengan foto mereka yang mencerminkan nomor urut yang telah ditentukan melalui undian. Saya melihat anak saya dan teman-temannya berusaha keras membuat desain yang menarik, karena mereka tahu bahwa tampilan visual juga penting untuk menarik perhatian calon pemilih.
Tidak berhenti di situ, setiap pasangan calon diwajibkan membuat video pemaparan visi dan misi. Dalam video itu, mereka berbicara dengan penuh semangat tentang apa yang mereka yakini dapat membuat sekolah mereka lebih baik. Saya menyaksikan betapa mereka berlatih, berulang kali merekam ulang video hingga merasa puas dengan hasilnya. Seolah-olah, ini adalah persiapan untuk ajang yang sangat besar, meskipun dalam lingkup sekolah.
Menghadapi Panelis: Ujian Kematangan Berpikir
Saat sidang terbuka digelar, para kandidat dihadapkan dengan panelis yang terdiri dari dewan guru. Di hadapan seluruh siswa, mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Saya sempat khawatir, membayangkan bagaimana anak saya dan rekan-rekannya akan menghadapi tekanan tersebut. Tetapi di luar dugaan, mereka tampil dengan penuh percaya diri.
Sidang terbuka ini bukan hanya ajang untuk menguji retorika, tetapi juga bagaimana para calon bisa berpikir cepat dan rasional dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis. Mereka harus mampu menyampaikan ide-ide mereka dengan jelas, menunjukkan bahwa mereka layak dipilih bukan hanya karena popularitas, tetapi karena kemampuan mereka dalam memimpin dan berpikir kritis.