Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Laki-Laki Sentuh Siswa Perempuan? Pahami Dulu Konsen!

3 Oktober 2024   09:03 Diperbarui: 3 Oktober 2024   09:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin sebagian dari kita pernah melihat momen di sekolah, ketika seorang guru laki-laki dengan santainya menepuk pundak siswi perempuan.

Sebagian orang mungkin menganggap itu hal biasa---tidak ada niat buruk, hanya sekadar gestur. Tapi, coba berhenti sejenak dan renungkan: Apakah tindakan tersebut benar-benar seharusnya dianggap biasa? Atau justru ada yang salah dengan cara kita melihat konsen, terutama di lingkungan pendidikan?

Di tengah maraknya kasus pelecehan seksual di sekolah, kita harus mulai membicarakan tentang apa itu konsen, dan mengapa penting. Jika seorang guru laki-laki tidak punya hak untuk menyentuh pundak siswi perempuan tanpa izin, ini bukan hanya soal fisik. Ini adalah tentang menghormati hak tubuh seseorang, bahkan dalam konteks yang tampaknya 'tidak berbahaya'.

Konsen Bukan Sekadar Soal Seks

Pertama-tama, mari kita luruskan persepsi tentang konsen. Banyak orang salah kaprah dan menganggap konsen hanya soal hubungan seksual. Padahal, konsen lebih luas dari itu. Konsen berarti persetujuan yang diberikan secara sadar dan sukarela dalam segala bentuk interaksi fisik atau emosional. Dalam hal ini, bahkan tindakan sederhana seperti menepuk pundak atau merangkul seseorang memerlukan konsen.

Menurut Maidina Rahmawati, peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), "Konsen itu tentang integritas tubuh. Tanpa konsen, bahkan sentuhan yang paling sederhana bisa menjadi pelanggaran terhadap hak asasi seseorang." (ICJR, 2021). Ketika kita tidak mendidik siswa---dan guru---tentang pentingnya konsen, kita justru membiarkan ruang abu-abu yang bisa disalahgunakan.

Moralitas yang Memudar di Sekolah

Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi siswa, sayangnya seringkali menjadi panggung bagi tindakan-tindakan yang melampaui batas etika. Kita tidak hanya berbicara tentang pelecehan seksual yang terang-terangan, tetapi juga tentang tindakan yang secara sosial 'ditoleransi' karena dianggap sepele. Kasus guru yang menyentuh siswa tanpa izin adalah contoh nyata dari bagaimana moralitas dalam pendidikan kita mulai memudar.

Sebuah survei dari Komnas Perempuan tahun 2020 menunjukkan bahwa pelecehan seksual di lingkungan pendidikan terus meningkat. Menurut laporan tersebut, lebih dari 50% kasus kekerasan seksual di sekolah tidak dilaporkan karena korban merasa takut, malu, atau khawatir tidak ada yang mendukung mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku adalah sosok yang memiliki kekuasaan, seperti guru atau dosen, sehingga korban merasa tidak berdaya.

Pengawasan yang Lemah

Seharusnya, institusi pendidikan menjadi pelindung bagi anak-anak. Namun, kenyataannya, banyak sekolah yang belum memiliki sistem pengawasan yang memadai. Pada tahun 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Aturan ini sudah menjadi langkah maju, tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah dasar dan menengah?

Sampai saat ini, pengawasan terhadap kekerasan seksual di sekolah-sekolah umum masih terbatas. Dalam beberapa kasus, ketika pelecehan terjadi, sekolah lebih memilih 'menyelesaikannya secara kekeluargaan'. Ini adalah masalah besar. "Kekeluargaan ndasmu semplak," mungkin itu ungkapan yang akan dilontarkan oleh para korban jika mereka diberikan ruang untuk bersuara. Mengapa? Karena penyelesaian kekeluargaan sering kali tidak berfokus pada keadilan bagi korban, tetapi lebih pada meredam masalah agar tidak menjadi sorotan publik.

Konsen Adalah Benteng Perlindungan

Salah satu elemen penting yang sering diabaikan dalam pendidikan kita adalah pemahaman tentang konsen. Jika anak-anak sudah diajarkan sejak dini tentang konsen, kita bisa membangun generasi yang lebih peka terhadap hak pribadi dan batasan tubuh. Ini bukan hanya tentang mencegah kekerasan seksual, tetapi juga membentuk budaya saling menghormati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun