Pernikahan sering digambarkan sebagai puncak dari romansa, sebuah fase di mana dua orang bersatu dalam cinta yang sempurna.
Namun, kenyataannya, pernikahan lebih sering menjadi medan pertempuran antara logika dan emosi. Kita tumbuh dengan dongeng yang menuntun kita untuk percaya bahwa cinta adalah segalanya.
Bahwa selama ada cinta, semua masalah akan teratasi. Namun, perceraian yang terus meningkat dan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menghantui masyarakat, khususnya di Indonesia, menceritakan kisah yang berbeda.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2023, tercatat lebih dari 500 ribu kasus perceraian, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah refleksi dari ribuan kehidupan yang tercerai-berai, anak-anak yang terperangkap dalam ketidakstabilan emosional, dan harapan yang musnah.
Salah satu penyebab utama perceraian di Indonesia adalah ketidakcocokan karakter, yang mencapai sekitar 80% dari seluruh alasan perceraian. Apa yang dimaksud dengan ketidakcocokan ini? Kebanyakan orang berpikir ketidakcocokan berarti perbedaan kepribadian atau ketidakmampuan untuk berkompromi. Namun, jika diteliti lebih jauh, ketidakcocokan ini sering kali berakar pada kurangnya nalar dan logika dalam menjalani kehidupan bersama.
Nalar Sebagai Dasar Pernikahan
Ketika Anda memilih pasangan hidup, salah satu saran paling penting yang mungkin belum banyak didengar adalah memilih seseorang yang logis, seseorang yang berpikir dengan kepala dingin dan mampu menggunakan nalar dalam menghadapi berbagai masalah.
Ini bukan berarti Anda harus mengabaikan perasaan atau romansa; tentu saja, cinta dan kasih sayang adalah komponen vital dalam pernikahan. Namun, ketika cinta bertemu dengan kenyataan hidup---tagihan yang harus dibayar, anak yang rewel, pekerjaan yang menuntut, atau bahkan hanya rutinitas harian---nalar lah yang akan menyelamatkan Anda.
Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan, "Aku memilih kamu saat aku punya banyak pilihan, tapi ternyata aku salah pilih," banyak pasangan yang pada akhirnya merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka duga. Mereka tidak salah karena mencintai, tetapi mereka sering salah karena gagal melihat apakah pasangannya memiliki kapasitas logis untuk menghadapi kehidupan nyata.
Ketika Anda terlibat dalam hubungan yang didominasi oleh perasaan tanpa nalar, setiap ketidaksepakatan bisa berujung pada konflik besar. Tanpa kemampuan untuk berpikir jernih dan memecahkan masalah bersama, rumah tangga bisa terasa seperti neraka. Perasaan hanya akan memperkeruh air, dan ego sering kali memperparah situasi.
Data Perceraian dan KDRT di Indonesia
Menurut Komnas Perempuan, dari lebih dari 20 ribu kasus yang mereka tangani pada tahun 2022, sebagian besar merupakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).