Mari kita jujur. Orang-orang ini---para pejabat dan selebritis yang membeli gelar---tidak benar-benar peduli pada pendidikan.Â
Mereka hanya ingin mengenakan toga, berdiri di depan kamera, dan mengabadikan momen itu untuk dibagikan di media sosial. Bagi mereka, gelar tidak lebih dari kostum dalam sebuah permainan peran, sebuah "cosplay akademik" yang mereka jalani demi kepuasan ego semata.
Profesor Eka Susanti, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, menilai fenomena ini sebagai bentuk "pencarian validasi diri yang salah arah." Dalam sebuah wawancara dengan Kompas, dia menyatakan bahwa banyak pejabat dan orang kaya merasa perlu untuk terus memvalidasi status mereka, bukan melalui pencapaian nyata, melainkan melalui simbol-simbol prestise seperti gelar akademik. "Mereka mencari pengakuan, bukan pendidikan. Ini adalah tentang bagaimana mereka ingin dilihat, bukan tentang siapa mereka sebenarnya," jelas Eka.
Fenomena ini menciptakan realitas absurd di mana seseorang yang mungkin bahkan tidak bisa menyelesaikan pendidikan sarjana bisa dengan mudah mendapatkan gelar doktor, asalkan mereka memiliki uang yang cukup. Sementara itu, mereka yang benar-benar berjuang untuk mendapatkan pendidikan dan gelar akademik menghadapi tekanan dan kesulitan yang jauh lebih besar.
Efek Domino: Merusak Reputasi dan Menciptakan Ketimpangan
Fenomena jual beli gelar ini juga berdampak serius pada sistem pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.Â
Di satu sisi, universitas menjadi lebih termotivasi oleh keuntungan finansial ketimbang kualitas pendidikan. Di sisi lain, gelar akademik kehilangan nilainya. Seorang mahasiswa yang benar-benar bekerja keras untuk menyelesaikan tesis dan mempertahankan disertasinya akan merasa dikhianati oleh sistem yang mengizinkan orang lain untuk mendapatkan gelar yang sama hanya dengan uang.
Menurut sebuah penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), fenomena ini memperparah ketimpangan dalam sistem pendidikan. Orang-orang yang kaya bisa mendapatkan gelar dengan mudah, sementara mereka yang tidak memiliki uang harus berjuang mati-matian untuk meraih pendidikan berkualitas. "Gelar akademik telah menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki privilege finansial," tulis laporan LIPI tersebut.
Akankah Tren Ini Berakhir?
Sulit untuk mengatakan apakah tren ini akan segera berakhir, mengingat betapa dalamnya akar masalah ini dalam sistem pendidikan dan budaya prestise di Indonesia.Â
Namun, beberapa kampus mulai menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Beberapa universitas, baik negeri maupun swasta, mulai memperketat proses seleksi untuk program studi pascasarjana mereka. Selain itu, kampanye anti-plagiarisme dan pengawasan yang lebih ketat terhadap tesis dan disertasi mulai digalakkan di beberapa kampus.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh pakar pendidikan Profesor Agus Setiawan dalam sebuah seminar di Jakarta, perubahan sejati hanya bisa terjadi jika masyarakat mulai menilai ulang arti penting gelar akademik. "Selama gelar dianggap sebagai simbol status daripada bukti kompetensi, tren ini akan terus berlanjut," kata Agus. Masyarakat harus memahami bahwa pendidikan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli, melainkan sebuah proses panjang yang membutuhkan komitmen, usaha, dan integritas.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Gelar
Di tengah segala absurditas ini, satu hal yang harus diingat: pendidikan adalah proses, bukan produk.Â