Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang dan peristiwa adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencari Aristoteles di Netflix: Bagaimana Filsafat Membentuk Narasi Populer Masa Kini

29 September 2024   09:15 Diperbarui: 29 September 2024   09:17 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: nextbestpicture.com

Pagi itu saya duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponsel yang menampilkan daftar tontonan di Netflix.

Di antara sekian banyak pilihan, ada Black Mirror yang sudah lama ingin saya tonton, juga Oppenheimer yang baru-baru ini menjadi perbincangan hangat. Awalnya, saya hanya ingin melarikan diri sebentar dari kesibukan pekerjaan dengan menonton sesuatu yang ringan. Namun, tanpa saya sadari, tontonan ini membawa saya ke pertanyaan yang lebih dalam---pertanyaan yang, meskipun tidak terasa, berasal dari filsafat kuno hingga pemikiran modern.

Seolah-olah Aristoteles sendiri sedang berbincang dengan saya melalui layar kaca, menanyakan hal-hal yang dulu mungkin tak pernah terpikirkan. Bagaimana sebuah film yang bercerita tentang fisikawan terkenal seperti J. Robert Oppenheimer, atau serial tentang teknologi masa depan yang menakutkan, bisa membuat saya berpikir tentang etika, moral, dan eksistensi manusia? Ternyata, ada benang merah yang menghubungkan pemikiran filsafat kuno dan budaya populer modern yang kita konsumsi setiap hari. Tapi, bagaimana kita bisa sampai di sini?

Filsafat Klasik di Layar Netflix

Kita sering mendengar nama-nama besar seperti Aristoteles dan Plato disebut di pelajaran sekolah, namun jarang sekali kita menyadari bahwa konsep-konsep mereka masih hadir di film-film yang kita tonton. Salah satu contohnya adalah film Oppenheimer yang membahas dilema moral seputar penciptaan bom atom. Kita diajak merenung: apakah penemuan besar yang dapat menghancurkan manusia bisa dibenarkan demi menyelamatkan lebih banyak nyawa? Apakah tindakan yang merugikan bisa dianggap baik jika tujuannya besar?

Dilema ini mengingatkan kita pada konsep etika dalam filsafat. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles berbicara tentang "kebajikan" dan bagaimana tindakan manusia harus selalu ditimbang berdasarkan kebaikan yang dihasilkan. Di sisi lain, ide ini juga berhubungan erat dengan pemikiran utilitarianisme John Stuart Mill, yang menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya. Ini bukan sekadar soal fisika atau sejarah; ini adalah persoalan etis yang dihadapi oleh manusia sepanjang sejarah, dan kini hadir dalam bentuk tontonan populer yang mudah kita akses sehari-hari (Kompas, 18/8/24).

Film superhero seperti The Dark Knight juga mengangkat tema serupa. Apakah Batman, dengan segala kekuatan yang dimilikinya, selalu bertindak benar ketika ia melanggar hukum demi menegakkan keadilan? Aristoteles mungkin akan tersenyum simpul melihat bagaimana tema-tema moral yang ia kaji ribuan tahun lalu kini hadir dalam film-film aksi besar Hollywood.

Eksistensialisme di Dunia Modern

Namun, bukan hanya filsafat klasik yang hadir di layar kaca. Pemikiran modern seperti eksistensialisme dan nihilisme juga meresap dalam serial-serial populer, seperti Black Mirror. Setiap episodenya mengajak kita untuk merenung, bukan sekadar tentang masa depan teknologi, tetapi juga tentang eksistensi kita sebagai manusia di dunia yang semakin terkoneksi. Salah satu episodenya, San Junipero, menceritakan tentang kehidupan yang bisa dijalani setelah kematian, di mana kesadaran seseorang dapat diunggah ke dalam realitas virtual.

Pertanyaan besar pun muncul: Apakah hidup dalam dunia simulasi sama bernilainya dengan hidup di dunia nyata? Pertanyaan ini langsung mengingatkan kita pada pemikiran eksistensialis dari Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Mereka mempertanyakan makna kehidupan dan kebebasan manusia, terutama dalam menghadapi absurditas dunia modern. Sartre, dalam karyanya Being and Nothingness, menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terlempar ke dunia tanpa tujuan pasti, dan bagaimana kita harus menciptakan makna sendiri di tengah kekosongan itu (The Guardian, 5/6/23).

Lalu ada Camus, yang dalam esainya The Myth of Sisyphus menggambarkan hidup sebagai tindakan berulang yang tanpa akhir---seperti Sisyphus yang dihukum untuk terus-menerus mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Apakah ini yang terjadi pada kita di era digital? Episode Black Mirror lain, seperti Nosedive, memperlihatkan bagaimana manusia berusaha mencapai status sosial yang sempurna dengan memanipulasi citra mereka di media sosial. Bukankah ini juga bentuk pengulangan yang absurd, seperti Sisyphus, di mana kita berusaha keras mempertahankan kebahagiaan palsu di dunia yang semakin tak nyata?

Moralitas dalam Dunia Teknologi

Di tengah arus teknologi yang kian mendominasi, banyak dari kita mungkin tak menyadari bahwa kita sedang berada di tengah perdebatan moral yang tak pernah selesai. Serial seperti Westworld, yang menggambarkan kecerdasan buatan dengan kesadaran manusia, membuka kembali diskusi tentang etika AI dan hak-hak makhluk yang mungkin diciptakan oleh kita. Apakah makhluk buatan ini memiliki hak untuk hidup dan memilih? Pertanyaan ini berakar pada pemikiran Immanuel Kant tentang etika deontologis, yang menegaskan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat semata.

Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat serial-serial lokal seperti Tilik yang membuka perdebatan tentang moralitas di dunia yang semakin terhubung oleh teknologi. Serial ini mungkin tampak sederhana di permukaan, namun narasi di baliknya menggambarkan bagaimana teknologi media sosial telah membentuk, bahkan mendistorsi, cara kita memandang orang lain. Seperti yang pernah dibahas oleh filsuf komunikasi Marshall McLuhan, "media adalah pesan itu sendiri"---teknologi yang kita gunakan tak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk cara berpikir kita (Tempo, 12/9/24).

Hal ini juga tercermin dalam film Penyalin Cahaya yang secara tidak langsung menyinggung bagaimana teknologi mempengaruhi persepsi moral di masyarakat. Ketika realitas bisa dimanipulasi melalui teknologi, apakah kita masih bisa membedakan mana yang benar dan salah?

Filsafat di Balik Layar: Tangan Sutradara yang Menggerakkan

Film dan serial tidak lahir begitu saja. Ada tangan-tangan kreatif di baliknya, penulis dan sutradara yang sadar atau tidak sadar telah memasukkan ide-ide filosofis ke dalam cerita yang mereka buat. Christopher Nolan, misalnya, sering kali menggunakan tema-tema eksistensial dalam film-filmnya, seperti Inception dan Interstellar. Film-film ini tak hanya mengajak kita bertanya tentang waktu dan realitas, tetapi juga memaksa kita merenungkan makna eksistensi manusia di tengah alam semesta yang begitu luas.

Nolan pernah menyebutkan dalam sebuah wawancara bahwa ia terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran filsafat ketika mengembangkan ide-ide filmnya. Inception, misalnya, menggambarkan dunia mimpi yang sangat nyata, mengingatkan kita pada konsep *subjektivitas* dalam filsafat modern. Penonton dipaksa mempertanyakan apa yang nyata dan apa yang tidak (The Guardian, 5/8/23).

Di Indonesia, sineas seperti Joko Anwar juga menggunakan tema-tema filosofis dalam film-filmnya. Pengabdi Setan misalnya, bukan hanya sekadar film horor, tetapi juga menggali konsep moralitas dan hubungan manusia dengan kekuatan yang tak terlihat. Dalam sebuah wawancara, Joko menyebut bahwa ia terinspirasi oleh banyak pemikiran filosofis, termasuk soal etika dan tanggung jawab sosial dalam masyarakat Indonesia modern (Kompas, 22/9/24).

Menghidupkan Filsafat di Era Modern

Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan yang tak terelakkan: filsafat, dengan segala kedalamannya, masih hidup dan tumbuh subur di tengah budaya populer kita. Ketika menonton film atau serial TV, kita mungkin tak langsung sadar bahwa kita sedang terlibat dalam diskusi panjang yang telah berlangsung ribuan tahun. Pemikiran Aristoteles, Kant, Sartre, hingga Camus mengalir begitu saja dalam narasi-narasi yang disajikan oleh media modern.

Mungkin inilah kekuatan besar dari budaya populer di era digital---ia mampu membawa kita ke dalam ruang diskusi yang lebih besar, tanpa kita harus merasa terbebani oleh konsep-konsep rumit. Dengan menonton Oppenheimer atau Black Mirror, kita tidak hanya mencari hiburan, tetapi juga terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang siapa kita dan ke mana kita akan menuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun