Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat serial-serial lokal seperti Tilik yang membuka perdebatan tentang moralitas di dunia yang semakin terhubung oleh teknologi. Serial ini mungkin tampak sederhana di permukaan, namun narasi di baliknya menggambarkan bagaimana teknologi media sosial telah membentuk, bahkan mendistorsi, cara kita memandang orang lain. Seperti yang pernah dibahas oleh filsuf komunikasi Marshall McLuhan, "media adalah pesan itu sendiri"---teknologi yang kita gunakan tak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk cara berpikir kita (Tempo, 12/9/24).
Hal ini juga tercermin dalam film Penyalin Cahaya yang secara tidak langsung menyinggung bagaimana teknologi mempengaruhi persepsi moral di masyarakat. Ketika realitas bisa dimanipulasi melalui teknologi, apakah kita masih bisa membedakan mana yang benar dan salah?
Filsafat di Balik Layar: Tangan Sutradara yang Menggerakkan
Film dan serial tidak lahir begitu saja. Ada tangan-tangan kreatif di baliknya, penulis dan sutradara yang sadar atau tidak sadar telah memasukkan ide-ide filosofis ke dalam cerita yang mereka buat. Christopher Nolan, misalnya, sering kali menggunakan tema-tema eksistensial dalam film-filmnya, seperti Inception dan Interstellar. Film-film ini tak hanya mengajak kita bertanya tentang waktu dan realitas, tetapi juga memaksa kita merenungkan makna eksistensi manusia di tengah alam semesta yang begitu luas.
Nolan pernah menyebutkan dalam sebuah wawancara bahwa ia terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran filsafat ketika mengembangkan ide-ide filmnya. Inception, misalnya, menggambarkan dunia mimpi yang sangat nyata, mengingatkan kita pada konsep *subjektivitas* dalam filsafat modern. Penonton dipaksa mempertanyakan apa yang nyata dan apa yang tidak (The Guardian, 5/8/23).
Di Indonesia, sineas seperti Joko Anwar juga menggunakan tema-tema filosofis dalam film-filmnya. Pengabdi Setan misalnya, bukan hanya sekadar film horor, tetapi juga menggali konsep moralitas dan hubungan manusia dengan kekuatan yang tak terlihat. Dalam sebuah wawancara, Joko menyebut bahwa ia terinspirasi oleh banyak pemikiran filosofis, termasuk soal etika dan tanggung jawab sosial dalam masyarakat Indonesia modern (Kompas, 22/9/24).
Menghidupkan Filsafat di Era Modern
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan yang tak terelakkan: filsafat, dengan segala kedalamannya, masih hidup dan tumbuh subur di tengah budaya populer kita. Ketika menonton film atau serial TV, kita mungkin tak langsung sadar bahwa kita sedang terlibat dalam diskusi panjang yang telah berlangsung ribuan tahun. Pemikiran Aristoteles, Kant, Sartre, hingga Camus mengalir begitu saja dalam narasi-narasi yang disajikan oleh media modern.
Mungkin inilah kekuatan besar dari budaya populer di era digital---ia mampu membawa kita ke dalam ruang diskusi yang lebih besar, tanpa kita harus merasa terbebani oleh konsep-konsep rumit. Dengan menonton Oppenheimer atau Black Mirror, kita tidak hanya mencari hiburan, tetapi juga terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang siapa kita dan ke mana kita akan menuju.