Di tengah suara gemericik kopi yang diseduh dan keramaian warung kecil di sudut kota, seorang teman mengeluarkan pernyataan yang begitu sederhana namun penuh makna.
"Pertumbuhan ekonomi di daerah ini bukan karena pemerintah yang mengembangkan UMKM atau pariwisata. Yang bikin ekonomi hidup ya mereka yang merantau jadi buruh pabrik, pedagang kaki lima, atau buruh migran. Mereka hilir mudik bawa uang dan membelanjakannya di sini."
Saya hanya terdiam, merenungkan apa yang dia katakan. Getir, memang. Namun, itulah kenyataan yang banyak dihadapi oleh masyarakat di kabupaten-kabupaten kecil, jauh dari sorotan kamera dan panggung politik besar. Di banyak tempat, rakyat tak lagi menaruh harapan besar pada janji-janji kampanye Pilkada yang penuh warna. Saat ribuan calon kepala daerah bersiap bertarung dalam Pilkada serentak pada 27 November 2024, badai lain telah lebih dulu menghantam: gelombang PHK besar-besaran yang memukul keras sektor-sektor padat karya.
Pilkada Serentak: Harapan atau Formalitas?
Pilkada serentak 2024 akan menjadi salah satu hajatan demokrasi terbesar di Indonesia, dengan 545 daerah di seluruh negeri bersiap untuk memilih pemimpin baru mereka. Sebanyak 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota akan menggelar pesta demokrasi ini. Di permukaan, ini tampak seperti kesempatan emas bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang akan membawa perubahan bagi daerahnya. Namun, di tengah kegembiraan politik, muncul pertanyaan yang lebih mendesak: mampukah para calon pemimpin ini menjawab krisis ketenagakerjaan yang kian parah?
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, sejak Januari hingga Agustus 2024, sebanyak 46.240 pekerja telah terkena PHK. Angka ini melonjak hampir 24% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Lebih dari separuh kasus PHK ini terjadi di sektor tekstil, garmen, dan alas kaki, terutama di Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Di Jawa Tengah, lebih dari 20.000 orang kehilangan pekerjaan dalam kurun waktu delapan bulan. Sementara itu, di Jakarta, lebih dari 7.400 pekerja terpaksa dirumahkan, kebanyakan dari sektor jasa seperti restoran dan kafe yang tidak lagi mampu bertahan.
Narasi Palsu Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Apa yang dikatakan oleh teman saya di warung kopi mungkin terdengar getir, tetapi itulah kenyataannya. Di banyak kabupaten dan kota kecil, ekonomi bergerak bukan karena kerja-kerja pemerintah daerah, melainkan karena ribuan orang dari daerah itu merantau ke kota-kota besar atau bahkan luar negeri. Mereka menjadi buruh pabrik, pedagang kaki lima, atau buruh migran. Ketika mereka kembali, entah setiap bulan atau setiap tahun, mereka membawa uang yang kemudian dibelanjakan di daerah asal mereka. Mereka membeli rumah, membayar biaya sekolah anak-anak, atau sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kontribusi inilah yang membuat ekonomi lokal tetap hidup.
Sayangnya, kontribusi ini sering kali tidak diakui dalam diskursus ekonomi formal. Narasi yang lebih sering kita dengar adalah tentang pentingnya pengembangan UMKM dan pariwisata untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa peran UMKM dan sektor pariwisata masih sangat terbatas dalam mendorong ekonomi kabupaten-kabupaten kecil. Yang sebenarnya menopang daerah adalah uang yang dibawa pulang oleh pekerja perantauan yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar daerah.
Badai PHK dan Masa Depan Pekerja
Di sisi lain, ancaman PHK terus membayangi pekerja di seluruh negeri. Kemenaker mencatat bahwa sebagian besar PHK terjadi di sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki. Ini adalah sektor yang sangat bergantung pada pesanan ekspor dan terhantam keras oleh penurunan permintaan global akibat krisis ekonomi yang dipicu oleh konflik Rusia-Ukraina, serta melemahnya nilai tukar rupiah.
Di Jawa Tengah, ribuan pekerja tekstil kehilangan pekerjaan. Banyak di antara mereka yang telah bekerja selama puluhan tahun, kini terpaksa pulang dengan tangan hampa. "Kami hanya bisa menunggu. Setiap hari rasanya seperti berjudi, apakah pabrik masih bisa beroperasi atau tidak," kata seorang buruh tekstil di Semarang yang terkena PHK beberapa bulan lalu. Di sisi lain, pemerintah berusaha meredam krisis ini dengan menjanjikan pembangunan pabrik-pabrik tekstil baru. Namun, detail mengenai kapan dan di mana pabrik-pabrik ini akan dibangun masih kabur.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebutkan bahwa pabrik-pabrik tekstil baru ini diharapkan bisa menyerap kembali para pekerja yang terdampak PHK. Meski demikian, dia tidak menyebutkan berapa banyak lapangan kerja yang akan tercipta atau kapan pembangunan pabrik-pabrik ini akan dimulai. Bagi para pekerja yang sudah kehilangan pekerjaan, janji ini terdengar seperti sebuah angan-angan yang sulit dipegang.