politik di Musi Rawas, provinsi Sumatera Selatan, wajah-wajah akrab segera terlintas dalam pikiran kami, warga lokal.
Saat bicara soalKabupaten yang sepi namun kaya akan cerita ini kini dipenuhi dengan bisik-bisik politik yang tidak biasa. Di warung kopi tempat saya dan teman-teman biasa berbincang, obrolan kini berpusat pada nama-nama yang dulunya adalah sekutu, kini berubah menjadi lawan dalam perebutan kursi tertinggi. Pilkada 2024 tak hanya soal pemilihan bupati, tapi juga soal perseteruan keluarga yang mencuri perhatian banyak orang.
Bagi kami, Pilkada kali ini bukan hanya tentang politik biasa. Ini tentang drama, persaingan, dan loyalitas yang diuji. Bagaimana tidak? Dua tokoh yang pernah berjuang bersama, Bupati Ratna Mahmud dan Wakil Bupati Suwarti, kini saling berhadapan dalam ajang politik yang sama. Namun yang membuat situasi ini lebih menarik bagi kami, warga Musi Rawas, adalah keterlibatan keluarga dekat dalam kontestasi ini. Ratna yang kini berpasangan dengan Suprayitno, adik kandung Suwarti, seolah menunjukkan betapa tipisnya garis antara politik dan keluarga di daerah kami. Di sisi lain, Suwarti menggandeng Thamrin Hasan, keponakan Ratna, sebagai calon wakilnya. Ini seakan menguatkan kesan bahwa Pilkada di Musi Rawas 2024 bukan hanya pertarungan politik, tapi juga pertarungan keluarga.
"Dulu Sekutu, Kini Lawan"
Bagi kami, kisah ini bak episode sinetron yang dramatis. Warga yang dulu mendukung Ratna dan Suwarti sebagai pasangan pemimpin yang kompak, kini terpecah belah. Banyak di antara kami yang merasa bingung, karena hubungan keduanya dulu terlihat harmonis. Mereka, selama periode 2021-2024, dikenal sebagai pemimpin perempuan yang kuat dan saling melengkapi. Ketika keduanya mencalonkan diri pada Pilkada 2020, banyak warga, termasuk saya, berharap bahwa kombinasi ini akan membawa Musi Rawas ke arah yang lebih baik.
Namun, takdir berkata lain. Hubungan Ratna dan Suwarti tidak seindah yang tampak di permukaan. "Kami tidak pernah membayangkan mereka akan berpisah," ujar Pak Hasan, salah satu sesepuh di kampung kami. "Tapi ya begitulah politik. Dulu mereka berjuang bersama, sekarang mereka saling berebut."
Berita tentang "pecah kongsi" ini segera menyebar. Ketika kabar bahwa keduanya akan maju sebagai calon bupati secara terpisah mulai terdengar, banyak dari kami yang merasa heran. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa mereka berpisah? Pertanyaan-pertanyaan ini terus bergulir di tengah masyarakat kami, mengisi percakapan sehari-hari dengan spekulasi yang tiada habisnya.
Elektabilitas dan Kekuatan Keluarga
Dalam komunitas kami yang terbilang kecil, dukungan politik sering kali didasarkan pada hubungan personal. Maka, tidak heran ketika kami mengetahui bahwa Ratna memilih Suprayitno, adik Suwarti, sebagai wakilnya, dan Suwarti menggandeng Thamrin Hasan, keponakan Ratna, banyak warga merasa ini sebagai strategi yang penuh perhitungan. "Mereka pintar bermain," kata Bu Siti, tetangga saya yang aktif mengikuti perkembangan politik daerah. "Dengan memilih keluarga lawannya, mereka seolah-olah mengunci basis dukungan dari kedua belah pihak."
Namun, di balik kalkulasi politik ini, ada rasa tidak nyaman yang mulai muncul di antara kami. Hubungan keluarga yang terjalin erat di sini sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sakral, dan pertarungan politik semacam ini terasa seperti pengkhianatan. Beberapa warga berpendapat bahwa mereka seharusnya tidak melibatkan anggota keluarga dalam pertempuran ini. "Kalau sudah begini, siapa yang bisa dipercaya?" keluh Pak Wawan, seorang petani yang tinggal di pinggiran desa. "Ini bukan cuma soal menang atau kalah, ini soal bagaimana kita menjaga keharmonisan dalam keluarga."
Meski demikian, banyak juga yang kagum dengan keberanian kedua calon ini. Pilkada di Musi Rawas ini telah menjadi simbol persaingan yang ketat antara dua kekuatan besar. Baik Ratna maupun Suwarti memiliki elektabilitas yang kuat, dan masing-masing didukung oleh partai-partai besar. Dengan keterlibatan keluarga mereka dalam kontestasi ini, suasana semakin memanas. Kami tahu, siapa pun yang menang akan membawa dampak besar bagi kabupaten kami, bukan hanya dalam hal kebijakan, tapi juga dalam tatanan sosial dan hubungan antarkeluarga.
Politik dan Relasi Keluarga di Tengah Warga
Sebagai warga yang hidup di daerah pedesaan, kami selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan. Politik memang penting, tapi bagi kami, persaudaraan adalah hal yang lebih utama. Oleh karena itu, perseteruan ini menyisakan rasa dilematis. Di satu sisi, kami ingin memilih pemimpin yang terbaik bagi kabupaten ini, tapi di sisi lain, ada ketakutan bahwa perpecahan ini akan merusak nilai-nilai yang kami hargai.
Bu Retno, seorang guru SD di desa kami, mengungkapkan kekhawatirannya. "Anak-anak di sini sering melihat pemimpin sebagai panutan. Saya takut, kalau mereka melihat orang-orang yang dulu akrab sekarang saling bermusuhan, mereka akan berpikir bahwa tidak apa-apa untuk memutuskan hubungan hanya karena perbedaan pendapat." Apa yang Bu Retno sampaikan mewakili keresahan banyak warga. Kami tidak ingin konflik ini mengajarkan generasi muda bahwa perpecahan adalah solusi untuk setiap masalah.
Namun, pada akhirnya, pilihan tetap harus dibuat. Kami tahu bahwa kami harus memilih salah satu dari mereka di Pilkada 2024 nanti. Pilihan ini bukan hanya soal politik, tapi juga soal masa depan Musi Rawas. Dalam percakapan sehari-hari, kami sering membahas siapa yang layak mendapatkan dukungan. Apakah kami harus mendukung Ratna yang memiliki pengalaman sebagai bupati? Ataukah kami harus memberikan kesempatan kepada Suwarti yang juga pernah berkontribusi sebagai wakil bupati?
Kisah Becak dan Harapan Warga
Salah satu momen yang paling membekas bagi kami adalah ketika Suwarti, meski di tengah perjuangan berat untuk mendapatkan dukungan partai, memutuskan untuk datang ke KPU dengan menumpang becak. Sebagai warga yang tumbuh besar di lingkungan sederhana, aksi ini menggugah hati banyak dari kami. Suwarti seolah ingin menunjukkan bahwa meski ia menghadapi banyak tantangan, ia tetap rendah hati dan tidak pernah lupa dari mana ia berasal.
"Suwarti itu kuat," ujar Pak Budi, pemilik warung yang sering menjadi tempat diskusi warga. "Dia berjuang sampai akhir, dan becak itu simbol perjuangannya. Saya kagum, meski tidak mudah baginya untuk maju, dia tetap melakukannya."
Di sisi lain, Ratna juga tidak kalah dalam hal menarik perhatian warga. Dengan dukungan partai-partai besar, termasuk Gerindra yang semula dipimpin oleh Suwarti, Ratna menunjukkan bahwa ia mampu menjaga kestabilan politik di tengah tantangan yang ada. Banyak dari kami melihat Ratna sebagai sosok yang tegas dan mampu memimpin dengan baik. Namun, bagi sebagian warga, kedekatannya dengan partai-partai besar menimbulkan kekhawatiran akan keterlibatan kepentingan politik nasional dalam pemerintahan lokal.
Akhir Cerita, Awal Baru
Pilkada Musi Rawas 2024 bukan hanya soal siapa yang akan menang, tapi juga soal bagaimana kita, warga Musi Rawas, akan menghadapi perpecahan yang ada di depan mata. Drama politik yang terjadi di antara keluarga-keluarga besar ini memberi kami banyak pelajaran. Terlepas dari siapa yang akan terpilih, kami berharap bahwa pemimpin yang nanti duduk di kursi bupati akan mampu merajut kembali benang-benang persaudaraan yang sempat terputus.
Kami tidak ingin Pilkada ini hanya menjadi catatan sejarah sebagai pertarungan keluarga. Kami ingin ini menjadi awal baru bagi Musi Rawas, di mana politik bisa berjalan seiring dengan nilai-nilai kekeluargaan yang selama ini kami junjung tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H