Indonesia tengah berada di ambang salah satu momen terpenting dalam sejarah demokrasinya.Â
Pilkada Serentak 2024, dengan 1.553 pasangan calon yang bersaing di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, menjadi arena di mana rakyat memilih pemimpin daerah mereka untuk lima tahun ke depan. Namun, di balik dinamika politik ini, terselip sebuah pertanyaan besar: sejauh mana fakta dan pengetahuan memainkan peran dalam menentukan hasil pemilihan? Atau apakah kita, sebagai bangsa, telah terperangkap dalam pusaran era post-truth?
Istilah post-truth merujuk pada kondisi di mana fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dibandingkan emosi dan keyakinan personal dalam membentuk opini publik. Era ini ditandai oleh dominasi media sosial, di mana informasi yang tidak akurat, hoaks, dan narasi yang menggugah emosi lebih cepat diterima publik daripada kebenaran. Di Indonesia, post-truth telah menjadi realitas sehari-hari, terutama menjelang Pilkada Serentak 2024.
Ironi Post-Truth: Ketika yang Benar Sendiri Dianggap Salah
Ada sebuah ironi yang muncul dalam perbincangan politik di era post-truth: ketika seseorang berbicara berdasarkan fakta yang benar, tetapi bertentangan dengan narasi populer, ia dianggap salah. Di sisi lain, ketika suatu informasi yang salah didukung oleh banyak orang, maka informasi itu seolah-olah menjadi benar. Fenomena ini bisa kita lihat dengan jelas di ranah politik, terutama dalam kampanye politik yang penuh dengan gimmick, teori konspirasi, dan janji-janji populis.
Pilkada Serentak 2024 bukan hanya tentang memilih siapa yang akan memimpin daerah kita, tetapi juga tentang bagaimana proses pemilihan itu sendiri dikendalikan. Di era post-truth, kebenaran tidak lagi menjadi prioritas, melainkan siapa yang bisa menciptakan narasi yang paling menarik dan viral. Pada titik inilah demokrasi kita terancam.
Sejak Pilkada Serentak pertama kali diadakan pada 2015, penggunaan media sosial sebagai alat kampanye terus meningkat. Para politisi dengan cepat menyadari bahwa kampanye konvensional, yang berfokus pada debat substansial dan program kerja, tidak lagi menjadi faktor penentu. Sebaliknya, konten yang viral dan emosional lebih mudah mendapatkan perhatian masyarakat. Tak heran jika di Pilkada 2024 ini, media sosial seperti Facebook, Twitter, hingga TikTok, menjadi medan pertempuran utama dalam mempengaruhi opini publik.
Politik Identitas dan Emosi Kolektif
Salah satu ciri utama dari era post-truth adalah politik identitas, di mana isu-isu ras, agama, dan kelompok etnis dieksploitasi untuk mendapatkan dukungan pemilih. Di banyak daerah di Indonesia, calon kepala daerah yang pandai memainkan sentimen agama dan identitas tertentu sering kali berhasil meraih simpati masyarakat, meskipun mereka tidak memiliki rekam jejak yang jelas dalam kepemimpinan. Sebagai contoh, dalam Pilkada sebelumnya, kita telah melihat bagaimana kampanye berbasis agama dan ras berhasil membentuk narasi besar yang mempengaruhi pilihan pemilih.
Politik identitas bukan hanya soal memanfaatkan emosi kelompok, tetapi juga tentang menciptakan pembagian yang tajam antara "kami" dan "mereka". Kandidat yang pandai memposisikan diri sebagai "wakil rakyat kecil" atau "pembela agama" sering kali mengabaikan fakta-fakta penting tentang kebijakan publik, ekonomi, atau tata kelola pemerintahan. Yang lebih diutamakan adalah kemampuan mereka memobilisasi emosi kolektif. Dan di era post-truth, emosi ini bisa lebih berbahaya daripada fakta yang terabaikan.
Peran Media Sosial dan Buzzer
Dalam Pilkada Serentak 2024, media sosial akan menjadi elemen kunci dalam proses kampanye. Berbeda dengan masa lalu, di mana kampanye dilakukan melalui debat terbuka, pertemuan langsung dengan pemilih, atau iklan di media massa, kini buzzer dan influencer mengambil alih panggung utama. Mereka adalah aktor-aktor yang bekerja di belakang layar, membentuk narasi yang sesuai dengan kepentingan politis calon yang mereka dukung. Dengan keahlian memanipulasi algoritma media sosial, para buzzer ini mampu membuat narasi tertentu menjadi viral, terlepas dari kebenaran atau ketidakbenarannya.
Dalam survei terbaru, lebih dari 70 persen pemilih muda Indonesia mengaku mendapat informasi politik dari media sosial. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini politik. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi ladang subur bagi penyebaran hoaks dan disinformasi. Informasi yang benar sering kali tersesat di antara kebisingan narasi-narasi palsu yang lebih mudah menyebar karena menggugah emosi.
Dalam Pilkada 2024, para buzzer dan tim kampanye digital menggunakan berbagai strategi untuk mengarahkan opini publik. Dari menyebarkan meme politik hingga membuat video-video singkat yang menyederhanakan isu kompleks menjadi slogan populis, mereka menguasai ruang publik digital. Tak jarang, narasi yang dibangun tidak didasarkan pada fakta, melainkan pada manipulasi emosi pemilih. Dan ketika narasi palsu ini didukung oleh banyak orang, ia mulai dianggap sebagai kebenaran.
Krisis Demokrasi di Era Post-Truth
Munculnya fenomena post-truth ini membawa dampak serius bagi demokrasi. Salah satu fondasi demokrasi adalah keberadaan pemilih yang cerdas, yang membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan lengkap. Namun, ketika informasi yang beredar dipenuhi dengan hoaks, manipulasi, dan narasi emosional, maka pilihan pemilih pun menjadi kabur. Mereka tidak lagi memilih berdasarkan penilaian rasional, melainkan berdasarkan apa yang paling menarik atau yang paling menggugah emosi.
Di Indonesia, dampak dari era post-truth ini bisa kita lihat dari semakin meningkatnya polarisasi politik. Masyarakat terpecah dalam kubu-kubu yang saling bertentangan, sering kali bukan karena perbedaan pandangan politik yang substansial, melainkan karena perbedaan emosi yang dibangun oleh narasi populis. Ini menciptakan iklim politik yang panas dan tidak sehat, di mana debat publik tidak lagi berfokus pada solusi, tetapi pada siapa yang bisa memenangkan argumen emosional.
Fenomena ini tentu berbahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia. Jika dibiarkan, kita akan memasuki era di mana pemimpin yang terpilih bukanlah mereka yang memiliki kompetensi dan integritas, melainkan mereka yang pandai memanfaatkan retorika populis dan emosi massa. Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang untuk mencapai konsensus berdasarkan fakta dan rasionalitas, akan kehilangan maknanya.
Refleksi Menuju Pilkada 2024
Pilkada Serentak 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin lokal, tetapi juga tentang masa depan demokrasi kita. Jika kita terus membiarkan fenomena post-truth ini mendominasi, maka yang kita pilih bukanlah pemimpin, melainkan narasi. Sebagai masyarakat yang peduli pada masa depan bangsa, kita harus lebih kritis dalam menerima informasi dan memverifikasi kebenaran dari setiap narasi yang kita terima.
Masyarakat Indonesia harus memahami bahwa pilihan mereka akan menentukan arah bangsa ini ke depan. Menjelang Pilkada Serentak 2024, kita perlu menuntut lebih banyak transparansi dan integritas dari para kandidat, serta menjadikan fakta sebagai dasar dalam membuat keputusan politik. Karena jika kita menyerah pada godaan era post-truth, kita akan menyaksikan demokrasi yang hilang arah, di mana yang salah, beramai-ramai, akan dianggap benar.
Penutup
Era post-truth membawa tantangan besar bagi demokrasi, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Di tengah Pilkada Serentak 2024, kita perlu menyadari bahaya dari manipulasi emosi dan disinformasi yang merajalela. Jika kita tidak berhati-hati, demokrasi kita bisa kehilangan esensinya. Mari kita kembali berpegang pada fakta, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H