Dalam Pilkada 2024, para buzzer dan tim kampanye digital menggunakan berbagai strategi untuk mengarahkan opini publik. Dari menyebarkan meme politik hingga membuat video-video singkat yang menyederhanakan isu kompleks menjadi slogan populis, mereka menguasai ruang publik digital. Tak jarang, narasi yang dibangun tidak didasarkan pada fakta, melainkan pada manipulasi emosi pemilih. Dan ketika narasi palsu ini didukung oleh banyak orang, ia mulai dianggap sebagai kebenaran.
Krisis Demokrasi di Era Post-Truth
Munculnya fenomena post-truth ini membawa dampak serius bagi demokrasi. Salah satu fondasi demokrasi adalah keberadaan pemilih yang cerdas, yang membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan lengkap. Namun, ketika informasi yang beredar dipenuhi dengan hoaks, manipulasi, dan narasi emosional, maka pilihan pemilih pun menjadi kabur. Mereka tidak lagi memilih berdasarkan penilaian rasional, melainkan berdasarkan apa yang paling menarik atau yang paling menggugah emosi.
Di Indonesia, dampak dari era post-truth ini bisa kita lihat dari semakin meningkatnya polarisasi politik. Masyarakat terpecah dalam kubu-kubu yang saling bertentangan, sering kali bukan karena perbedaan pandangan politik yang substansial, melainkan karena perbedaan emosi yang dibangun oleh narasi populis. Ini menciptakan iklim politik yang panas dan tidak sehat, di mana debat publik tidak lagi berfokus pada solusi, tetapi pada siapa yang bisa memenangkan argumen emosional.
Fenomena ini tentu berbahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia. Jika dibiarkan, kita akan memasuki era di mana pemimpin yang terpilih bukanlah mereka yang memiliki kompetensi dan integritas, melainkan mereka yang pandai memanfaatkan retorika populis dan emosi massa. Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang untuk mencapai konsensus berdasarkan fakta dan rasionalitas, akan kehilangan maknanya.
Refleksi Menuju Pilkada 2024
Pilkada Serentak 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin lokal, tetapi juga tentang masa depan demokrasi kita. Jika kita terus membiarkan fenomena post-truth ini mendominasi, maka yang kita pilih bukanlah pemimpin, melainkan narasi. Sebagai masyarakat yang peduli pada masa depan bangsa, kita harus lebih kritis dalam menerima informasi dan memverifikasi kebenaran dari setiap narasi yang kita terima.
Masyarakat Indonesia harus memahami bahwa pilihan mereka akan menentukan arah bangsa ini ke depan. Menjelang Pilkada Serentak 2024, kita perlu menuntut lebih banyak transparansi dan integritas dari para kandidat, serta menjadikan fakta sebagai dasar dalam membuat keputusan politik. Karena jika kita menyerah pada godaan era post-truth, kita akan menyaksikan demokrasi yang hilang arah, di mana yang salah, beramai-ramai, akan dianggap benar.
Penutup
Era post-truth membawa tantangan besar bagi demokrasi, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Di tengah Pilkada Serentak 2024, kita perlu menyadari bahaya dari manipulasi emosi dan disinformasi yang merajalela. Jika kita tidak berhati-hati, demokrasi kita bisa kehilangan esensinya. Mari kita kembali berpegang pada fakta, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H