Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jebakan Bonus Demografi: Mengapa Lulusan Terbaik Jadi Ojek Online?

24 September 2024   20:00 Diperbarui: 24 September 2024   20:39 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah kafe kecil di Jakarta, saya bertemu dengan Ardi, seorang lulusan teknik Industri dari salah satu universitas negeri terkemuka di Indonesia. 

Namun, ironisnya, Ardi bukanlah insinyur yang bekerja di perusahaan teknologi atau pabrik besar. Hari ini, ia berprofesi sebagai pengemudi ojek online, sebuah pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Saya lulus dengan harapan besar. Saya ingin menjadi insinyur, membangun sesuatu yang bermanfaat. Tapi kenyataannya, gelar saja tidak cukup," katanya, sambil menatap kosong ke jalanan yang sibuk.

Ardi adalah salah satu potret generasi muda yang terjebak dalam situasi yang paradoksal. Indonesia sedang bersiap menyambut puncak bonus demografi pada tahun 2030, ketika sekitar 70% populasi berada di usia produktif. Namun, di balik optimisme ini, ada ketakutan yang mulai mencuat: apakah Indonesia benar-benar siap memanfaatkan momen langka ini, atau justru akan tergelincir ke dalam krisis yang tak terelakkan?

Bonus Demografi: Harapan dan Realitas

Bonus demografi telah lama digadang-gadang sebagai periode emas bagi Indonesia. Teorinya, ketika jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar daripada penduduk usia non-produktif (anak-anak dan lansia), negara akan mendapat dorongan ekonomi yang signifikan. Dengan lebih banyak orang bekerja dan produktif, pertumbuhan ekonomi akan meningkat, dan kesejahteraan masyarakat akan membaik.

Namun, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan tren yang sebaliknya. Alih-alih menciptakan lapangan kerja yang memadai, tingkat pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi justru naik hingga 25% pada tahun 2024. Para ekonom dan sosiolog menyuarakan kekhawatiran bahwa Indonesia sedang berjalan menuju "kutukan demografi," di mana ledakan penduduk usia produktif tidak diiringi oleh kemampuan ekonomi untuk menyerap mereka ke dalam pasar kerja formal.

Ketidakcocokan antara keterampilan yang diajarkan di dunia pendidikan dengan kebutuhan industri menjadi salah satu penyebab utama. Banyak lulusan seperti Ardi yang menemukan bahwa pengetahuan dan gelar mereka tidak relevan dengan apa yang dicari oleh perusahaan. "Saya sudah mengirim lebih dari seratus lamaran pekerjaan. Setiap kali ditolak, alasan mereka selalu sama: kurang pengalaman," ujar Ardi.

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai program untuk menghadapi masalah ini. Pelatihan vokasional, insentif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pembangunan infrastruktur digital telah digalakkan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, masalah yang lebih mendasar seperti ketimpangan ekonomi dan pengangguran struktural belum terselesaikan. Jika tak diatasi, hal ini bisa memperburuk situasi pada puncak bonus demografi nanti.

Ketimpangan Wilayah: Pusat vs Daerah

Sementara kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung mungkin melihat peningkatan lapangan kerja di sektor teknologi dan jasa, banyak wilayah di luar Pulau Jawa yang masih tertinggal. Di Aceh, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua, ledakan usia produktif tidak diiringi oleh pembangunan infrastruktur dan industri yang memadai. Hal ini memperlebar kesenjangan ekonomi antarwilayah, memicu migrasi besar-besaran ke kota-kota besar.

Kota-kota besar di Indonesia kini menghadapi tekanan yang semakin besar akibat urbanisasi. Jumlah penduduk yang terus bertambah menciptakan masalah kemacetan lalu lintas, krisis perumahan, dan meningkatnya kebutuhan infrastruktur sosial. Di banyak kota, kita sudah melihat lonjakan harga properti yang tak terjangkau oleh penduduk berpenghasilan menengah ke bawah. Mereka terjebak dalam pola migrasi yang menjauhkan mereka dari peluang kesejahteraan ekonomi yang sebenarnya.

Lila, seorang ibu rumah tangga di Yogyakarta, adalah contoh dari tantangan ini. Suaminya, seorang buruh pabrik tekstil, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tahun lalu. Perusahaan tempat suaminya bekerja merelokasi operasional mereka ke luar negeri, karena upah buruh di Indonesia dianggap tidak lagi kompetitif. "Kami merasa terjebak. Tidak ada lapangan kerja lain di sekitar sini. Kami berharap bisa bertahan sampai anak-anak besar nanti, tapi entah bagaimana caranya," ungkap Lila, sambil mengelus kepala anaknya yang sedang tertidur.

Bagi keluarga seperti Lila, bonus demografi yang dijanjikan pemerintah tidak terasa sebagai berkah. Sebaliknya, situasi mereka mencerminkan betapa rapuhnya sistem ekonomi Indonesia yang bergantung pada tenaga kerja murah dan minim inovasi teknologi.

Krisis Sosial dan Meningkatnya Kriminalitas

Di balik masalah ekonomi, ada ancaman lain yang lebih mengkhawatirkan: ketidakstabilan sosial. Di kota-kota besar, frustasi karena ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan layak seringkali berujung pada peningkatan kriminalitas. Data dari Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan kenaikan angka kriminalitas yang signifikan di kalangan pemuda berusia 18-35 tahun pada tahun 2024. Di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, kejahatan jalanan seperti pencurian dan perampokan mengalami lonjakan hingga 30% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. Nina Andriani, menjelaskan bahwa bonus demografi tanpa arah yang jelas bisa menjadi "bom waktu." "Kita sedang menghadapi generasi yang frustasi. Mereka tumbuh dengan harapan besar, tetapi kenyataan tidak sesuai. Ini adalah kombinasi yang sangat berbahaya. Jika kita tidak menciptakan jalan keluar yang berarti, mereka bisa mencari solusi di luar sistem, melalui tindakan kriminal atau gerakan-gerakan radikal."

Bagi banyak pemuda, ketidakmampuan memenuhi ekspektasi sosial---baik dari segi ekonomi maupun status---membuat mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan, baik fisik maupun mental. Mereka merasa tidak diakui oleh masyarakat, dan pada akhirnya, memilih jalur yang merusak diri sendiri dan lingkungannya.

Kutukan Demografi: Apa yang Bisa Dipelajari?

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan ini. Negara-negara seperti Filipina dan Mesir pernah mengalami hal serupa. Meski memiliki populasi usia produktif yang besar, kedua negara ini gagal memanfaatkan bonus demografi mereka. Salah satu penyebab utamanya adalah ketidakmampuan sistem ekonomi untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Akibatnya, pengangguran merajalela, dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak pernah terwujud.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh The Economist, ada istilah "kutukan demografi," di mana ledakan populasi usia produktif justru menjadi beban ketika negara tidak siap menciptakan lapangan kerja dan layanan sosial yang memadai. Indonesia, jika tidak segera berbenah, bisa saja terjebak dalam skenario serupa.

Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari negara-negara tersebut adalah pentingnya investasi besar-besaran dalam pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan pasar. Sistem pendidikan Indonesia saat ini masih berfokus pada teori, dengan sedikit perhatian pada pengembangan keterampilan yang bisa langsung diterapkan di dunia kerja. Selain itu, perlu ada upaya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal, agar mereka bisa menikmati manfaat ekonomi yang sama dengan kota-kota besar.

Harapan untuk Masa Depan: Apakah Kita Sudah Siap?

Tahun 2030 mungkin akan datang dengan janji besar. Namun, jika langkah-langkah yang diperlukan tidak diambil sekarang, Indonesia berisiko menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Bonus demografi yang seharusnya menjadi berkah bisa berubah menjadi beban yang menekan generasi mendatang.

Ardi, Lila, dan jutaan pemuda lainnya kini hanya bisa berharap. Mereka adalah bagian dari generasi produktif yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi bangsa. Namun, tanpa arah yang jelas, mereka bisa saja menjadi korban dari sistem yang tidak siap. "Saya berharap pemerintah bisa melihat kami, bukan hanya sebagai angka statistik, tapi sebagai manusia yang ingin hidup lebih baik," ujar Ardi dengan nada yang berat.

Saat Indonesia memasuki periode krusial ini, pertanyaan besarnya adalah: apakah kita sudah siap? Atau kita akan menyaksikan peluang besar ini berlalu begitu saja, seperti air yang mengalir ke lautan yang tak akan pernah kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun