Ketika pertama kali membaca To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, saya tidak hanya belajar tentang segregasi rasial di Amerika Serikat, tetapi juga tentang rasa takut, ketidakadilan, dan kemanusiaan yang dirasakan oleh mereka yang hidup di dalamnya.
Meskipun saya tidak pernah mengalami ketidakadilan rasial secara langsung, melalui mata tokoh Scout Finch, saya bisa merasakan ketegangan dan kesedihan yang menyelimuti masa itu.
Pengalaman ini membuktikan bahwa sastra memungkinkan kita untuk berempati dengan masa lalu---sesuatu yang sering kali tidak bisa dilakukan oleh buku sejarah konvensional.
Alih-alih hanya mengetahui fakta-fakta tentang peristiwa penting, kita bisa memasuki pikiran dan hati tokoh-tokoh fiksi yang mewakili kehidupan nyata di masa itu.
Fakta vs Fiksi dalam Memahami Sejarah
Namun, bukankah sejarah fiksi hanya itu---fiksi? Tidakkah kita perlu berhati-hati dalam mengandalkan sastra sebagai sumber sejarah?
Memang, penting untuk mengakui bahwa karya sastra tidak selalu memberikan gambaran faktual yang akurat.
Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Alex Rosenberg, "Sastra tidak menyampaikan pengetahuan atau pemahaman dalam bentuk yang sama dengan sains atau sejarah."
Tetapi di sisi lain, ada nilai yang tak ternilai dalam cara sastra menggambarkan keadaan emosional dan moral dari suatu periode sejarah.
Jika sejarah akademis adalah peta, maka sastra adalah lanskap tiga dimensi yang mengisi kekosongan pada peta itu.
Kita mungkin bisa mengetahui tanggal Revolusi Prancis dari buku teks, tetapi melalui novel-novel seperti A Tale of Two Cities karya Charles Dickens, kita bisa merasakan kekacauan, ketakutan, dan kebrutalan dari masa itu.
Memahami Zaman melalui Karya Sastra
Penulis Amerika John Steinbeck pernah berkata, "Sastra besar selalu tentang manusia dan kebangkitannya melawan hal-hal yang menghancurkannya: kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, dan keputusasaan."Â