Lucu, manusia zaman sekarang. Mereka percaya bahwa melarikan diri sejenak bisa memperbaiki hidup. Entah liburannya yang menyenangkan atau kita yang harus meyakinkan diri bahwa ini menyenangkan.
Kota Puncak, Bogor, adalah salah satu destinasi wisata yang selalu menarik perhatian penduduk perkotaan, terutama dari Jakarta.
Namun, sudah jadi rahasia umum bahwa liburan ke Puncak di akhir pekan atau hari libur panjang adalah sinonim dengan kemacetan yang mengular.Â
Pertanyaan sederhana muncul: Mengapa kita tetap pergi meski tahu bakal berjam-jam terjebak di jalan? Jawaban atas dilema ini mengandung unsur psikologi, sosiologi, bahkan ekonomi.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Puncak, melainkan di berbagai destinasi wisata populer lainnya. Puncak menjadi representasi dari ritual liburan yang penuh sesak oleh rutinitas kemacetan.Â
Tahun demi tahun, ribuan orang berbondong-bondong menuju tempat yang sama, meskipun tahu bahwa perjalanan ke sana akan lebih lama daripada waktu yang dihabiskan menikmati pemandangan. Lalu, kenapa tetap pergi?
Mencari Pelarian di Tengah Kekacauan
Manusia modern hidup dalam tekanan. Penelitian dari National Institutes of Health menemukan bahwa tingkat stres perkotaan yang tinggi sering memicu perilaku konsumtif dan impulsif sebagai bentuk pelarian.Â
Sebuah liburan menawarkan janji kelegaan sementara, meskipun realitas yang dihadapi di jalan berbentuk kemacetan. Mengapa kita tetap melakukannya?
Satu alasannya adalah ilusi kontrol. Dalam dunia yang serba cepat, liburan menjadi simbol kebebasan. Ketika seseorang merencanakan perjalanan ke Puncak, meski dengan segala prediksi macet, ia merasa seolah memiliki kendali penuh atas waktu.
Pengambilan keputusan untuk tetap berlibur seakan memberi mereka ruang untuk "melawan" tekanan harian.Â